AL-AHKAM ASY-SYARI'AH
A. HUKUM SYARA’[1]
2.1. Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminolgi Ushul Fiqih, hokum (al-hukm) berarti:
خطا ب الله المتعلق با فعا ل المكلفين با لا قتضا ء او التخيير او الو ضع
Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketenyuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Kitab Allah yang dimaksud dalm definisi tersebut ialah kala Alllah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam an-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakekat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka populer di kalangan ahli-ahli Ushul Fiqih bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal erbuatan manusia.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadits ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian kitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti Sunnah Rasulullah, ijma’, dan dalil-dalil syara’ lain yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya.
Kalam Allah adalah hukum baik langsung seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadits-hadits hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga, sesuai dengan firman Allah :
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S.An-Najm: 3-4).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, kitab Allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh Syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi diatas adalah ayat-ayat hukum dan hadits-hadits hukum.
Istilah hukum Syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari Syari’at Islam.
2.2. Pembagian Hukum Syara’
2.2.1. Hukum Taklifi
Menurut para ahli Ushul Fiqih hukum taklifi berarti :
هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه
“Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang behubungan langsung dengan perbuatan orang mukalllaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.”
Hukum taklifi terbagi atas :
1. Wajib
a) Pengertian Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd. Al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib berarti : “Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.”
Artinya :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Ankabut:54)
Hukum wajib ditunjukkan oleh perintah (amar), seperti pada ayat di atas kata amar diberi warna berbeda (merah).
b) Pembagian Wajib
· Wajib dari Segi Oarng yang Dibebani Kewajiban Hukum.
Ø Wajib ‘Aini
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Contohnya shalat lima waktu, puasa, dan lainnya.
Ø Wajib Kifa’I (Wajib Kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah adalah kewajiban seluruh umat Islam, tetapi sudah dianggap mencukupi bilamana dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun jika tidak, maka seluruh umat Islam diancam dengan dosa. Demikian pula dengan kewajiban menjawab salam, belajar ilmu kedokteran, dan belajar ilmu bangunan.
· Wajib dari Segi Kandungan Perintah.
Ø Wajib Mu’ayyan
Yaitu suatu kewajiban di mana yang menjadi objeknya adalah tertentu (ditentukan) tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam, kewajiban melakukan puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat (sesuai waktu dan ketentuan yang ditetapkan). Kewajiban ini dianggap tidak terlaksana, kecuali dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan itu.
Ø Wajib Mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif . Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah. Dalam surah Al-Maaidah ayat 89:
Artinya:
“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”(Q.S. Al-Maaidah :89)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa orang yang dikenakan kaffarat karena melanggar sumpahnya itu boleh memilih antara beberapa macam kaffarat tersebut.
· Wajib dari Segi Waktu Pelaksanaannya.
Ø Wajib Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya kewajiban untuk membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
Ø Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam ini, seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, terbagi kepada wajib muwassa’ (lapang wakttunya) dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya) .Wajib muwassa’ adalah kewajiban dimana waktu yang ersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri sehingga memungkinkan untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada waktu itu, seperti shalat lima waktu. Misalnya waktu shalat Isya, disamping melaksanakan shalat Isya, mungkin pula dilakukan pada waktu itu beberapa shalat sunnah.
2. Sunnah
a) Pengertian Sunnah
Secara etimologi yaitu sesuatu yang dianjurkan, sedangkan secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana akan diberi pahala bagimorang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
b) Pembagian Sunnah
· Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan)
Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarnag ditinggalkannya. Misalnya shalat sunnah dua raka’at sebelum fajar.
· Sunnah Ghair al-Muakkadah (sunnah biasa)
Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah, namun bukan menjadi kebiasaan. Seperti memberikan sedekah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam keadaan terdesak, maka hukum membantunya adalah wajib.
· Sunnah al-Zawaid
Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santunnya, dalam makan, minum, dan tidur. Mengikuti Rasulullah dalam masalah-masalah tersebut hukumnya sunnah, namun tingkatannya dibawah dua tingkatan sunnah diatas dan yang lebih kuat adalah macam sunnah yang disebut pertama tadi.
3. Haram
a) Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminologi, Ushul Fiqih kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larang berzina dalam firman Allah:
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’:32)
Dalam kajian Ushul Fiqih dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan)
b) Pembagian Haram
1. Al-Muharram Li Dzatihi, yaitu sestu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan itu tidak bias terpisah dari zatnya. Contoh ayatnya sebagai berikut :
Artinya :. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al- Isra’ : 32)
Di antara ketentuan yang berlaku pada ketentuan hukum haram semacam ini adalah bahwa sesuatu diharamkan karena esensinya, bilamana dilakukan juga, hukumnya tidak sah. Tindakan mencuri misalnya diharamkan dan oleh karena itu tidak sah menjadi sebab pemilikan harta yang dicuri itu.
2. Al-Muharram Li Ghairi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu yang dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esnsial. Misalnya, larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat jum’at sebagaimana firman Allah SWT. :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al- Jumu’ah : 9)
Jual beli bagaimana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan jum’at karena akan melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah (shalat jum’at).
4. Makruh
a) Pengertian Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Contohnya:
Artinya:
“Perbuatan halal yang dibenci allag adalah talak.”(H.R. Abu daud, ibn majah, albaihaki dan hakim).
b) Pembagian Makruh
· Makruh Tahrim
Yaitu sesuatu yang dilarang oleh syari’at, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain.
· Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syari’at untuk meninggalkannya. Misalnya, memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.
5. Mubah
a) Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.”
b) Pembagian Mubah
· Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan mencari rezeki.
· Mubah bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram bila dilakukan setiap waktu. Misalnya, mendengarkan nyanyianhukumnya mubah jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram jika menghabiskan waktu hanya untuk mendengarkan hal tersebut.
· Mubah untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya member perabot untuk kepentingan kesenangan, sedangkan hidup senang (mewah) hukumnya mubah dan untuk mencapai kemewahan memerlukan seperangkat persyaratan yang mubah pula.
B. HUKUM WAD’I [2]
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Para ulam ushul fiqih menyatakan bahwa hukum wadhi’ itu ada 5 macam:
1) Sebab السبب Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat الشرطyaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya “syarat” mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat.
3) Mani’ الم نع(Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
4) الصحه (shihah), yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhinya sebab syarat dan tidak ada mani’. Minsalnya mengerjakan sholat zuhur setelah tergelincir mata hari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) dan tidak ada halangan bagi orang-orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dsb.dalam contoh ini pekerjaan yang dikerjakan itu hukumnya sah.oleh sebab itu apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi maka sholat itu tidak sah, sekalipun mani’nya tidak ada.
5) الباطل(bathil), yaitu terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat yang ditimbulkannya. Minsalnya memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara'
C. MAHKUM FIH/MAHKUM BIH
1. Pengertian mahkum fih/mahkum bih
Untuk menyebut peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau istilah itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bias disifati dengan hukum, baik yang bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama ushul fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah dan batal.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah : 43
Artinya: “Dirikanlah Sholat…”(QS. Al-Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan denga perbuatan mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
b. Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am : 151
Artinya:
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah dengan sesuatu (sebab) yang bena…” (Q.S. Al-An’aam : 151)[3]
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq itu hukumnya haram.
Dari beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah” Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan.” Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama Ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajub ataupun sunnah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunnah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.[4]
Jika menjadi tempat bergantung ijaab, dinamai lah wajib, jika yang menjadi tempat bergantung tahriem, dinamai haram; jika menjadi tempat bergantung karaahah dinamai makruh; sebagaimana jika menjadi tempat bergantung ibaahah dinamai mubah. Hukum-hukum itu dinamai dalam ‘Urf ahli Ushul dengan mahkum fih. [5]
Begitu pula dengan hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut. Berikut syarat-syarat Mahkum Fih :
1. Syarat-syarat Mahkum Fih
Ø Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
Ø Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Sesorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah Swt. sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Hal itu telah direalisasikan didunia islam.
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan zatnya atau pun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya anatara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bias digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap atau mengangkat gunung, dll.
Kedua, para ulama Ushul Fiqih menyatakan tidak sah hukumnya sesorang melakukan perbuatan yang di-taklif-kan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu , sesorang tidak dibenarkan melakukan sholat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Dengan kata lain, bahwa sesorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasehati dan amar ma’ruf nahi munkar.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, senang, sedih, takut dll. Karna hal itu diluar kendali manusia. Hal itu bias dikaitkan dengan kecintaan seorang suami dengan istrinya yang satu dibandingkan kepada istri-istrinya yang lain. Dengan demikian, walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan hal tersebut, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya kepada sebab dan akibatnya.
Keempat, tercapainya syarat taklifi tersebut, seperti syarat imam dalam masalah ibadah dan bersuci untuk sholat. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat ulama Ushul Fiqih, yaitu permasalahan apakah orang kafir dibebani taklif untk melaksanakan hukum syara’ sekalipun dalam masalah keimanan mereka dibebani taklif ?
Tidaklah diperselisihkan orang kafir diserukan untuk beriman, bermuamalah, dan diberi hukuman, karena Rasulullah itu diutus untuk semua manusia. Adapun peraturan hukum syara’, haq dengan aqidah, harta, utang dan tanggungjawab adalah berkaitan dengan masalah hukum positif, tetapi hal itu menjadi bahan perdebatan dikalangan para ulama.
Adapun alasan jumhur ulama bahwa orang kafir itu tetap terkena tuntutan meskipun tidak beriman, adalah sebagai berikut:
Ø Adanya perintah Allah secara umum seperti, “Hai manusia beribadahlah kepada Tuhan kamu semua! “
Ø Adanya janji mendapatkan siksa bagi orang-orang yang meninggalkan sholat
Ø Secara rasional bisa dikatakan kepada orang kafir: “Diwajibkan kepada kamu sholat yang syarat sah nya adalah iman, maka diwajibkan kepadamu untuk beriman tuntutan seperti itu dibolehkan secara akal.[6]
1. Macam-macam Mahkum Fih
Para ulama Ushul Fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu: dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi haq yang terdapat dari perbuatan itu sendiri.
Dari segi keberadaannya secara material, mahkum fih terdiri atas:
a. Perbuatan secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf, tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’ yaitu hudud dan hishah.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ apabila memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa- menyewa. Perbuatan seperti ini secara material ada dan diakui oleh syara’
Dilihat dari segi haq yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih nya dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta sesorang yang dirusak, hak-hak kepemilikna, dan hak-hak pemanfaatan hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh pemiliknya.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh.[7]
D. MAHKUM ‘ALAIH
1. Pengertian Mahkum Alaih
Ulama Ushul Fqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf .
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan imbalan bila mengerjakan perintah Allah dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa, resiko, dosa karena melanggar aturannya, disamping tidak memenuhi kewajibannya.
2. Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian ulama Ushul Fiqih berpandapat bahwa dasar pembebenan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bias dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bias memahami taqlif dari syar’I (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk dalam golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya : “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.”
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Abi Thalib)[8]
3. Ahliyyah
Pengertian Ahliyyah Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’
1. Pembagian Ahliyyah
Menurt para ulama’ ushul fiqih, Ahliyyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
· Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.
· Ahliatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum
2. Halangan Ahliyyah
Ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah-ubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan perbuatan manusia.
b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.
E. HAKIM
Secara etimologi hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum
2. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat islam. Siapakah yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu, apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang tidak berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam ilmu ushul fiqih hakim juga disebut dengan syari’
Dari pengertian pertama diatas hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbat, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbat lainnya untuk menyingkap jukum yang datamg daei Allag SWT.
Ulama ushul fiqih menetapkan sebuah kaedah yang berbunyi:
لاحكم الاالله
Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah
Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefenisikan hukum sebagai titah Allah SWT, yang berkaitan dengan perbuatan orang mukhallaf baik berupa tuntutan, pemilihan maupun wadhi’ .
Alasannya adalah:
3. Qs. Al-An’am: 57
Artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik”.
4. Qs. Al-Maidah: 49
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.[9]
DAFTAR RUJUKAN
Ash- Shiddieqy,M.hasbi. Pengantar Hukum Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1981) jilid 2. cet. 6.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih (Jakarta : P.T.Kencana, 2005)
http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/mahkum-fih-dan-mahkum.html.(diunduh kamis,22/10/2015. 13.24 WIB)
Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka Setia, 2010)
[1] Satria Efendi, Ushul Fiqih (Jakarta:P.T. Kencana, 2005) h.36
[2] http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/mahkum-fih-dan-mahkum.html.(diunduh kamis, 22/10/2015. 13.24 WIB)
[3] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung:Pustaka Setia, 2010) cet. 4. hal. 317-318
[4] Ibid. h. 319
[5] M.Hasbi Ash- Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1981) jilid 2. cet. 6. hal. 136
[6] Ibid.hal 324-325
[7] Ibid. h.331-333
[8] Ibid. h.334-335
[9] http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/mahkum-fih-dan-mahkum.html.(diunduh kamis, 22/10/2015. 13.24 WIB)
Kitab Allah yang dimaksud dalm definisi tersebut ialah kala Alllah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam an-nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakekat hukum syara’. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka populer di kalangan ahli-ahli Ushul Fiqih bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal erbuatan manusia.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadits ahkam. Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama, antara lain Abdul Karim Zaidan, secara langsung menafsirkan pengertian kitab dalam definisi tersebut sebagai kalam Allah baik secara langsung seperti kalam Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, maupun secara tidak langsung seperti Sunnah Rasulullah, ijma’, dan dalil-dalil syara’ lain yang dijadikan Allah sebagai dalil (petunjuk) untuk mengetahui hukum-Nya.
Kalam Allah adalah hukum baik langsung seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti hadits-hadits hukum dalam sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manusia. Hadits hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga, sesuai dengan firman Allah :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S.An-Najm: 3-4).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran, baik Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Sama halnya dengan itu dalil-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagai dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Dengan demikian, kitab Allah dalam definisi hukum diatas, mencakup semua dalil-dalil hukum yang diakui oleh Syara’, sehingga apa yang dimaksud dengan kitab dalam definisi diatas adalah ayat-ayat hukum dan hadits-hadits hukum.
Istilah hukum Syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari Syari’at Islam.
2.2. Pembagian Hukum Syara’
2.2.1. Hukum Taklifi
Menurut para ahli Ushul Fiqih hukum taklifi berarti :
هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه
“Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang behubungan langsung dengan perbuatan orang mukalllaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.”
Hukum taklifi terbagi atas :
1. Wajib
a) Pengertian Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abd. Al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib berarti : “Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf, dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.”
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥
Artinya :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.Al-Ankabut:54)
Hukum wajib ditunjukkan oleh perintah (amar), seperti pada ayat di atas kata amar diberi warna berbeda (merah).
b) Pembagian Wajib
· Wajib dari Segi Oarng yang Dibebani Kewajiban Hukum.
Ø Wajib ‘Aini
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali. Contohnya shalat lima waktu, puasa, dan lainnya.
Ø Wajib Kifa’I (Wajib Kifayah)
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksakan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah adalah kewajiban seluruh umat Islam, tetapi sudah dianggap mencukupi bilamana dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakat. Namun jika tidak, maka seluruh umat Islam diancam dengan dosa. Demikian pula dengan kewajiban menjawab salam, belajar ilmu kedokteran, dan belajar ilmu bangunan.
· Wajib dari Segi Kandungan Perintah.
Ø Wajib Mu’ayyan
Yaitu suatu kewajiban di mana yang menjadi objeknya adalah tertentu (ditentukan) tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam, kewajiban melakukan puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat (sesuai waktu dan ketentuan yang ditetapkan). Kewajiban ini dianggap tidak terlaksana, kecuali dengan melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan itu.
Ø Wajib Mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif . Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar) sumpah. Dalam surah Al-Maaidah ayat 89:
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٨٩
Artinya:
“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”(Q.S. Al-Maaidah :89)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa orang yang dikenakan kaffarat karena melanggar sumpahnya itu boleh memilih antara beberapa macam kaffarat tersebut.
· Wajib dari Segi Waktu Pelaksanaannya.
Ø Wajib Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Misalnya kewajiban untuk membayar kaffarat sumpah, boleh dibayar kapan saja, tanpa dibatasi dengan waktu tertentu.
Ø Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanannya dibatasi dengan waktu tertentu. Wajib semacam ini, seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, terbagi kepada wajib muwassa’ (lapang wakttunya) dan wajib mudhayyaq (sempit waktunya) .Wajib muwassa’ adalah kewajiban dimana waktu yang ersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri sehingga memungkinkan untuk melaksanakan ibadah lain yang sejenis pada waktu itu, seperti shalat lima waktu. Misalnya waktu shalat Isya, disamping melaksanakan shalat Isya, mungkin pula dilakukan pada waktu itu beberapa shalat sunnah.
2. Sunnah
a) Pengertian Sunnah
Secara etimologi yaitu sesuatu yang dianjurkan, sedangkan secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana akan diberi pahala bagimorang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
b) Pembagian Sunnah
· Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan)
Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarnag ditinggalkannya. Misalnya shalat sunnah dua raka’at sebelum fajar.
· Sunnah Ghair al-Muakkadah (sunnah biasa)
Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah, namun bukan menjadi kebiasaan. Seperti memberikan sedekah kepada orang yang tidak dalam keadaan terdesak. Jika dalam keadaan terdesak, maka hukum membantunya adalah wajib.
· Sunnah al-Zawaid
Yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia. Misalnya, sopan santunnya, dalam makan, minum, dan tidur. Mengikuti Rasulullah dalam masalah-masalah tersebut hukumnya sunnah, namun tingkatannya dibawah dua tingkatan sunnah diatas dan yang lebih kuat adalah macam sunnah yang disebut pertama tadi.
3. Haram
a) Pengertian Haram
Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara terminologi, Ushul Fiqih kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya, larang berzina dalam firman Allah:
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً ﴿٣٢
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa’:32)
Dalam kajian Ushul Fiqih dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan)
b) Pembagian Haram
1. Al-Muharram Li Dzatihi, yaitu sestu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia, dan kemudaratan itu tidak bias terpisah dari zatnya. Contoh ayatnya sebagai berikut :
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً ﴿٣٢
Artinya :. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al- Isra’ : 32)
Di antara ketentuan yang berlaku pada ketentuan hukum haram semacam ini adalah bahwa sesuatu diharamkan karena esensinya, bilamana dilakukan juga, hukumnya tidak sah. Tindakan mencuri misalnya diharamkan dan oleh karena itu tidak sah menjadi sebab pemilikan harta yang dicuri itu.
2. Al-Muharram Li Ghairi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu yang dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esnsial. Misalnya, larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat jum’at sebagaimana firman Allah SWT. :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٩
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al- Jumu’ah : 9)
Jual beli bagaimana dilihat kepada esensinya adalah dibolehkan, tetapi ada larangan melakukannya pada waktu azan jum’at karena akan melalaikan seseorang dari memenuhi panggilan Allah (shalat jum’at).
4. Makruh
a) Pengertian Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Contohnya:
ابغض الحلال عندالله الطلاق
Artinya:
“Perbuatan halal yang dibenci allag adalah talak.”(H.R. Abu daud, ibn majah, albaihaki dan hakim).
b) Pembagian Makruh
· Makruh Tahrim
Yaitu sesuatu yang dilarang oleh syari’at, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain.
· Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syari’at untuk meninggalkannya. Misalnya, memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di waktu perang.
5. Mubah
a) Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.”
b) Pembagian Mubah
· Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat dan mencari rezeki.
· Mubah bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram bila dilakukan setiap waktu. Misalnya, mendengarkan nyanyianhukumnya mubah jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram jika menghabiskan waktu hanya untuk mendengarkan hal tersebut.
· Mubah untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya member perabot untuk kepentingan kesenangan, sedangkan hidup senang (mewah) hukumnya mubah dan untuk mencapai kemewahan memerlukan seperangkat persyaratan yang mubah pula.
B. HUKUM WAD’I [2]
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Para ulam ushul fiqih menyatakan bahwa hukum wadhi’ itu ada 5 macam:
1) Sebab السبب Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
2) Syarat الشرطyaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya “syarat” mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat.
3) Mani’ الم نع(Penghalang) Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
4) الصحه (shihah), yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ yaitu terpenuhinya sebab syarat dan tidak ada mani’. Minsalnya mengerjakan sholat zuhur setelah tergelincir mata hari (sebab) dan telah berwudhu (syarat) dan tidak ada halangan bagi orang-orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dsb.dalam contoh ini pekerjaan yang dikerjakan itu hukumnya sah.oleh sebab itu apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi maka sholat itu tidak sah, sekalipun mani’nya tidak ada.
5) الباطل(bathil), yaitu terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat yang ditimbulkannya. Minsalnya memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara'
C. MAHKUM FIH/MAHKUM BIH
1. Pengertian mahkum fih/mahkum bih
Untuk menyebut peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau istilah itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bias disifati dengan hukum, baik yang bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama ushul fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’I (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah dan batal.
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum. Misalnya:
a. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah : 43
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ …﴿٤٣
Artinya: “Dirikanlah Sholat…”(QS. Al-Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan denga perbuatan mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
b. Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am : 151
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ …﴿١٥١
Artinya:
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah dengan sesuatu (sebab) yang bena…” (Q.S. Al-An’aam : 151)[3]
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq itu hukumnya haram.
Dari beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah” Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan.” Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama Ushul. Diantara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajub ataupun sunnah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunnah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.[4]
Jika menjadi tempat bergantung ijaab, dinamai lah wajib, jika yang menjadi tempat bergantung tahriem, dinamai haram; jika menjadi tempat bergantung karaahah dinamai makruh; sebagaimana jika menjadi tempat bergantung ibaahah dinamai mubah. Hukum-hukum itu dinamai dalam ‘Urf ahli Ushul dengan mahkum fih. [5]
Begitu pula dengan hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut. Berikut syarat-syarat Mahkum Fih :
1. Syarat-syarat Mahkum Fih
Ø Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
Ø Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Sesorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah Swt. sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Hal itu telah direalisasikan didunia islam.
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan zatnya atau pun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya anatara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bias digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap atau mengangkat gunung, dll.
Kedua, para ulama Ushul Fiqih menyatakan tidak sah hukumnya sesorang melakukan perbuatan yang di-taklif-kan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu , sesorang tidak dibenarkan melakukan sholat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Dengan kata lain, bahwa sesorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasehati dan amar ma’ruf nahi munkar.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, senang, sedih, takut dll. Karna hal itu diluar kendali manusia. Hal itu bias dikaitkan dengan kecintaan seorang suami dengan istrinya yang satu dibandingkan kepada istri-istrinya yang lain. Dengan demikian, walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan hal tersebut, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya kepada sebab dan akibatnya.
Keempat, tercapainya syarat taklifi tersebut, seperti syarat imam dalam masalah ibadah dan bersuci untuk sholat. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat ulama Ushul Fiqih, yaitu permasalahan apakah orang kafir dibebani taklif untk melaksanakan hukum syara’ sekalipun dalam masalah keimanan mereka dibebani taklif ?
Tidaklah diperselisihkan orang kafir diserukan untuk beriman, bermuamalah, dan diberi hukuman, karena Rasulullah itu diutus untuk semua manusia. Adapun peraturan hukum syara’, haq dengan aqidah, harta, utang dan tanggungjawab adalah berkaitan dengan masalah hukum positif, tetapi hal itu menjadi bahan perdebatan dikalangan para ulama.
Adapun alasan jumhur ulama bahwa orang kafir itu tetap terkena tuntutan meskipun tidak beriman, adalah sebagai berikut:
Ø Adanya perintah Allah secara umum seperti, “Hai manusia beribadahlah kepada Tuhan kamu semua! “
Ø Adanya janji mendapatkan siksa bagi orang-orang yang meninggalkan sholat
Ø Secara rasional bisa dikatakan kepada orang kafir: “Diwajibkan kepada kamu sholat yang syarat sah nya adalah iman, maka diwajibkan kepadamu untuk beriman tuntutan seperti itu dibolehkan secara akal.[6]
1. Macam-macam Mahkum Fih
Para ulama Ushul Fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu: dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi haq yang terdapat dari perbuatan itu sendiri.
Dari segi keberadaannya secara material, mahkum fih terdiri atas:
a. Perbuatan secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf, tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’ yaitu hudud dan hishah.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ apabila memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa- menyewa. Perbuatan seperti ini secara material ada dan diakui oleh syara’
Dilihat dari segi haq yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih nya dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta sesorang yang dirusak, hak-hak kepemilikna, dan hak-hak pemanfaatan hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh pemiliknya.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh.[7]
D. MAHKUM ‘ALAIH
1. Pengertian Mahkum Alaih
Ulama Ushul Fqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf .
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan imbalan bila mengerjakan perintah Allah dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa, resiko, dosa karena melanggar aturannya, disamping tidak memenuhi kewajibannya.
2. Taklif
Dalam islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian ulama Ushul Fiqih berpandapat bahwa dasar pembebenan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bias dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bias memahami taqlif dari syar’I (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk dalam golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثِ عَنْ النَّاءِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظُ وَعَنْ الصّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلْمُ وَعَنْ الْمَجْنُوْنٍ حَتَّى يَفْيِقَ
Artinya : “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.”
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Abi Thalib)[8]
3. Ahliyyah
Pengertian Ahliyyah Secara harfiah (etimologi) ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan, misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang maka ia dianggap ahli untuk menangani bidang tersebut. Adapun secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh ahliyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syara’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’
1. Pembagian Ahliyyah
Menurt para ulama’ ushul fiqih, Ahliyyah (kepantasan) itu ada dua macam yaitu:
· Ahliyatul Wujub (kecakapan untuk dikenai hukum) yaitu kepantasan seorang untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia, semenjak ia lahir sampai meninggal dalam segala sifat, kondisi, dan keadaannya.
· Ahliatul Ada’ (kecakapan untuk menjalankan hukum) yaitu kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum
2. Halangan Ahliyyah
Ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah-ubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah disebabkan perbuatan manusia.
b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia.
E. HAKIM
Secara etimologi hakim mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum
2. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syariat islam. Siapakah yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu, apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang tidak berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam ilmu ushul fiqih hakim juga disebut dengan syari’
Dari pengertian pertama diatas hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbat, seperti qiyas, ijma’, dan metode istinbat lainnya untuk menyingkap jukum yang datamg daei Allag SWT.
Ulama ushul fiqih menetapkan sebuah kaedah yang berbunyi:
لاحكم الاالله
Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah
Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefenisikan hukum sebagai titah Allah SWT, yang berkaitan dengan perbuatan orang mukhallaf baik berupa tuntutan, pemilihan maupun wadhi’ .
Alasannya adalah:
3. Qs. Al-An’am: 57
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ ﴿٥٧
Artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik”.
4. Qs. Al-Maidah: 49
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ ﴿٤٩
Artinya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.[9]
DAFTAR RUJUKAN
Ash- Shiddieqy,M.hasbi. Pengantar Hukum Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1981) jilid 2. cet. 6.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih (Jakarta : P.T.Kencana, 2005)
http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/mahkum-fih-dan-mahkum.html.(diunduh kamis,22/10/2015. 13.24 WIB)
Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka Setia, 2010)
[1] Satria Efendi, Ushul Fiqih (Jakarta:P.T. Kencana, 2005) h.36
[2] http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/mahkum-fih-dan-mahkum.html.(diunduh kamis, 22/10/2015. 13.24 WIB)
[3] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung:Pustaka Setia, 2010) cet. 4. hal. 317-318
[4] Ibid. h. 319
[5] M.Hasbi Ash- Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1981) jilid 2. cet. 6. hal. 136
[6] Ibid.hal 324-325
[7] Ibid. h.331-333
[8] Ibid. h.334-335
[9] http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/mahkum-fih-dan-mahkum.html.(diunduh kamis, 22/10/2015. 13.24 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar