Minggu, 15 Mei 2016

ISU-ISU KONTEMPORER DALAM KAJIAN ISLAM

ISU-ISU KONTEMPORER DALAM KAJIAN ISLAM (HIV/AIDS; HAM; GENDER; TOLERANSI)








A.    Pandangan Islam Tentang  HAM (Hak Asasi Manusia)

Setiap individu memiliki persamaan-persamaan naluriah, di mana pun, siapa pun, dan di sinilah Hak Asasi Manusia (HAM) melekat. Namun, dalam perjalanan hidupnya, manusia melakukan penyelewengan, penipuan, pembunuhan karakter atau menjadikan korban semua itu. Itulah ketika hak manusia terabaikan.


HAM merupakan sesuatu yang sudah terdapat dalam diri manusia. Untuk merealisasikan hak-hak itu perlu aturan yang dihormati. Dengan begitu, hak-hak tersebut dapat berjalan sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing. Islam mendukung sepenuhnya eksistensi hak asasi manusia mulai dari penciptaan hingga kematiannya.[1]

Berbicara tentang hak-hak manusia dalam Islam, maka perlu dipikirkan metodologi yang digunakan. Masalah pertama yang dihadapi berasal dari pendekatan apa yang digunakan. Para analis berpendapat bahwa jika Barat dan Islam dihadapkan dalam polemik hak manusia, maka mereka mengambil budaya dan norma-norma mereka sebagai rujukan dan menjadikannya sebagai modal dalam memperbandingkan peradaban dan tatanan lain.

Islam menggunakan parameter (ukuran seluruh populasi dalam penelitian yang harus diperkirakan) moral, hukum, politik yang dibentuk sebagai tujuan pemberian penghargaan kepada Islam, disusun dengan bentuk-bentuk istimewa yang sesuai dengan ajaran Islam.

Sebaliknya, sebagai negara-negara yang umumnya menganut paham sekuler (agama dipisahkan dari urusan kehidupan), Sarjana Barat jarang menggunakan agama Kristen sebagai titik tolak untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan yang berlaku di Eropa beberapa dekade lalu.

Namun, dalam menerangkan peristiwa-peristiwa di negara-negara Muslim, mereka cenderung dan hampir selalu menggunakan istilah-istilah keagamaan. Menjadikan Islam sebagai dalih atau penyebab tradisionalisme di satu sis, atau revolusi dari segi lain, merupakan kecenderungan yang sudah berlangsung dan telah mencapai puncaknya sajka jatuhnya rezim (tata pemerintah negara; pemerintahan yg berkuasa) Syah di Iran.

Ada kecenderungan bahwa kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan, tradisi dan hal-hal lain dinilai tabu tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia Islam sekarang. Melihat Islam sebagai kasatuan yang independen lebih baik begitu juga memandang negara, pemerintahan atau masyarakat Islam sebagai satu komponen kekuasaan yang solid mengenai sosial-politik dengan perubahan dengan berbagai rezim politik, gaya kognitif dan sistem ekonomi yang berlainan.

Masalah kedua berasal dari interpretasi yang berlawanan sebagaimana ditawarkan oleh para sarjana islam sendiri. Bagi sementara sarjana islam, yang keinginannya membantah pandangan orientaris telah bergeser menjadi penolakan, sikap mengagungkan Islam sudah menjadi semacam apologi hingga mencapai titik dimana mereka menghendaki bahwa apapun yang ditemukan diluar batas-batas orang-orang islam pasti mempunyai batasan dalam diri mereka, seperti: gagasan intelektual, pengalaman-pengalaman politik, konsep-konsep dan penemuan ilmiah. Baik hak-hak manusia maupun kodifikasi kemanusiaan bukanlah merupakan pengecualian bagi para pemikir muslim, yang dengan segera dapat menunjukkan bahwa, meskipun baru saja dilembagakan hak-hak manusia dan kodifikasi kemanusiaan tersebut, hal-hal semacam ini bahkan sudah dilaksanakan pada zaman permulaan Muhammad SAW.

Dari beberapa literatur, dapatlah disimpulkan bahwa hak-hak asasi manusia adalah suatu tanggung jawab yang telah ada semenjak manusia lahir atau dengan kata lain hak dasar yang dimiliki manusia. Hak tersebut termasuk dalam kategori kebebasan dan kemerdekaan, meliputi hak hidup, hak mendapatkan sesuatau, kebebasan bersikap tanpa ada yang menghalangi. Menurut Islam hak asasi ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang selaras dan seimbang, tanpa melihat perbedaan dikalangan masyarakat sosial walaupun disana sini masih ada. Al-qur’an dan sunnah merupakan cerminan hak asasi manusia yang up to date.[2]

Dalam al-Qur’an, Islam bertolak dari akidah yang tinggi dalam memandang manusia. Karena Allah ‘azza wajalla telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Yaitu untuk memakmurkan bumi, dan menegakkan hukum-hukum syariat Allah di muka bumi. Allah swt berfirman:


Artinya : “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-An’am : 165)

Dan Allah swt. juga berfirman:


Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah : 30)

Oleh karena itu, Islam memandang bahwa manusia adalah objek penghormatan dari Allah swt. Allah swt menganugerahi penghormatan itu dan memberikannya kepada manusia sebagai keutamaan (karunia) yang berasal dari Allah swt. Setiap manusia dengan sifatnya sebagai manusia, adalah sama-sama mendapatkan penghormatan ini, meskipun berbeda-beda warna kulitnya, tempat tinggalnya, nasabnya. Begitu juga antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini juga sama-sama mendapatkan penghormatan. Allah swt. berfirman:


Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. al-Israa’: 70)

Islam menegaskan bahwa tolak ukur kemuliaan disandarkan kepada hubungan yang bersifat akidah. Karena posisi mulia itu ditentukan oleh kewatakan manusia, dan penerimaannya terhadap petujuk para Rasul dan manhaj yang bersumber dari wahyu. Allah swt. berfirman: QS attin 4-6


Artinya : “(4) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (5) kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) (6) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (Q.S. at-Tiin: 4-6)[3]

            Itulah beberapa ayat dalam al-Qur’an yang membahas kedudukan manusia, atau hak-hak manusia yang diberikan oleh Allah swt. kepada manusia di bumi Allah swt.

B.     Gender dalam Pandangan Islam [4]

1.      Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “genis kelamin”. Dalam Webster’r New World Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Umar dalam salah satu jurnal Paramadina yang berjudul, Perspektif Gender dalam Islam, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan tingkah laku”.

Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.

Hillary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender sebagai “harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (World a given society defines as masculine or feminin is component of gender).

H.T. Wilson dalam Sex and Gender menartikan gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan”.

Sejalan dengan pendapat Shalwalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari kontruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu.

Istilah gender belum masuk dalam perbendaharaan kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, meskipun istilah itu sudah lazim digunakan, khususnya di kantor Menteri Urusan Peranan Wanita. Dalam bidang ini, gender diartikan sebagai “interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin, yakni laki-laki dan perempuan”. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Dalam literature lain, pengertian gender disebut sebagai “pembagian peran manusia berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan)”. Persoalan gender, khususnya yang berkaitan dengan pengubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih adil bagi kedua jenis kelamin, telah menjadi isu di dunia Islam awal abad ke-20. Belakangan, gerakan yang memperjuangkan perubahan tersebut secara luas disebut fenisme Islam.

Dr. Mansur Fakih menyatakan bahwa ketidak jelasan makna gender disebabkan oleh kurangnya penjelasan tentang kaitan antara konsep gender dengan masalah ketidakadilan. Menurutnya, pengertian jenis kelamin atau seks adalah “ pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu”.

Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti berikut ini; memiliki penis, jakala, dan memproduksi superma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi ovum, memiliki vagina, dan alat untuk menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki. Artinya, secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan, tidak bisa berubah secara permanen, dan merupakan ketentuan dari Tuhan atau kodrat.

Sedangkan konsep gender adalah sifat-sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Misalnaya, perempuan itu dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, dan sebagainya. Sementara laki-laki dikenal sebagai mahluk perkasa, kuat, rasional, jantan dan sebagainya. Cirri dari sifat-sifat diatas merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara itu, ada pula perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan cirri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gender adalah “suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya.” Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social construction), bukan sesuatu yang bersifat kodrati.

Karena konpleksitas masalah dan kondisi sekarang, persoalan gender marupakan wialayah terbuka untuk ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks sosialnya. Perbedaan anatomi biologis memang cukup jelas, tetapi hal ini tidak cukup sebagai landasan untuk membuat klasifikasi atau diversifikasi peran dalam kehidupan sosial.

Kenyataan biologis ini telah melahirkan dua teori besar; nature dan nurture. Teori nature menganggap perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati (nature). Anatomi biologi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin ini.

Laki-laki memiliki peran utama di dalam masyarakat karena dianggap lebih potensial, lebih kuat, dan lebih produktif. Organ reproduksi dinilai membatasi gerak perempuan, seperti hamil, menyusui, dan melahirkan, sementara laki-laki tidak mempunyai fungsi reproduksi tersebut. Perbedaan ini menghilangkan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Peran laki-laki di sektor publik dan peran perempuan di sektor domestik.

Sedangkan teori nurture menganggap perbedaan relasi gender laki-laki dan perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis melainkan kontruksi sosial. Dengan kata lain, peran sosial yang selama ini dianggap baku dan dipahami sebagai doktrin keagamaan, menurut penganut faham nurture, sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan tidak juga sebagai produksi determinasi biologis, melainkan sebagai produksi kontraksi sosial. Banyak nilai-nilai bias gender yang terjadi di masyarakat dianggap disebabkan oleh faktor biologis, tetapi sesungguhnya tidak lain adalah kontruksi budaya. Dan kita ingin mencoba memposisikan Al-qur,an di antara kedua teori ini, atau minimal mengetahui letaknya lebih dekat ke teori yang mana.

2.      Konsep Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an

Membahas relasi gender pada masa turunnya al-Qur’an dengan mengasumsikan bahwa pada masa itu, bangsa Arab berada dalam suasana perang; perang menghadapi ganasnya alam, perang memperebutkan sumber air dan makanan ternak, perang antar suku, maka sangat logis kalau peran sosial politik dan ekonomi kaum laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Jika asumsi diatas bisa diterima, maka akan munculkan pertanyaan baru, yaitu; apakah bahasa Al-Qur’an dan pemahaman atas Al-Qur’an juga bible yang bias laki-laki merupakan doktrin teologis ataukah refleksi dan kontruksi sosial-antropologis sehingga diperlukan penafsiran ulang dalam dunia modern.

Perspektif gender dalam Al-Qur’an  tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu, Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam) dan Tuhan.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah bagaimana Al-Qur’an membedakan istilah-istilah yang masuk kategori seksual-biologis dan istilah yang menunjuk pada konsep gender, meskipun sering kali telah dikaburkan. Maka, kita harus berhati-hati untuk tidak mencampur adukkan antara dua kategori ini, dan jangan sampai mengidentikkan yang satu dengan yang lain.

Al-Qur’an memberi pandangan optimistis terhadap keberadaan dan kedudukan perempuan. Salah satu indikasinya dapat dilihat pada penggunaan damir tasniyah , setiap kali Al-Qur’an menceritakan tentang Adam dan Hawa di surge, hingga diturunkan ke bumi.

Indikasi lainnya adalah pernyataan Al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk eksistensialis, yang derajatnya bisa naik turun. Terkadang, ia bisa menjadi makhluk yang terbaik (ahsan at-taqwim), dan diwaktu lain, ia bisa menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya, bahkan lebih rendah dari binatang (asfala safilin). Fenomena semacam ini terjadi secara umum pada manusia, tanpa membedakan laki-laki maupun perempuan.

Pernyataan Al-Qur’an lainnya yang menjamin konsep kesetaraan manusia adalah ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin, sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Hujurat ayat 13, yaitu sebagai berikut:


Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat : 3)

Sosok ideal perempuan digambarkan sebagai kaum yang memiliki kemandirian politik, seperti sosok Ratu Balqis yang memiliki Negara super power (a’arsyun ‘azim), sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Mumtahanah ayat 12, sebagai berikut:


Artinya:”Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka.”(Q.S. al-Mumtahanah : 12)

Begitu juga pemandangan yang disaksikan oleh Nabi Musa di Madyan, dua wanita yang sedang mengelola peternakan, lambang sosok perempuan yang mandiri secara ekonomi, seperti dalam surah al-Qhashas ayat 23, sebagai berikut:


Artinya:” dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” (Q.S. al-Qhashas :23)

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa laki-laki lebih sempurna dari pada perempuan di hadapan Tuhan. Perbedaan hanya terletak pada kualitas, prestasi, dan ketakwaan. Bahkan, Tuhan menyatakan dan menjelaskan tentang kemandirian yang dapat dilakukan oleh laki-laki, dapat dilakukan oleh perempuan, misalnya tentang kematangan politik ratu Balqis, juga kemandirian ekonomi dua wanita yang mengelola peternakan di Madyan.

C.    Toleransi dalam Pandangan Islam[5]

1.      Pengertian Toleransi Menurut Pandangan Islam

Pada dasarnya, kata toleransi sangat sulit untuk mendapatkan padangan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan istilah “tasamuh”. Dalam bahasa Arab, kata “tasamuh” adalah derivasi dari “samh” yang berarti “juud wa karam wa tasahul” dan bukan “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes) yang merupakan arti asli kata-kata “tolerance”.

Dalam Islam, toleransi berlaku bagi semua orang, baik itu sesama umat muslim maupun non-muslim. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami menyebutkan ada empat faktor utama yang meyebabkan toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim, yaitu :

Ø  Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya.

Ø  Perbedaan bahwa manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah swt. yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman dan kufur.

Ø  Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran seseorang atau menghakimi sesatnya orang lain. Allah swt. sajalah yang akan menghakiminya nanti.

Ø  Keyakinan bahwa Allah swt. memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Allah juga mencela perbuatan dzalim meskipun terhadap kafir.

Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah agama yang damai, selamat dan menyerahkan diri. Definisi Islam yang demikian seringkali dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatan lil ‘aalamin” (agama yang mengayomi seluruh alam). Artinya, Islam selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah.

2.      Toleransi Dalam Islam

Dari pengertian diatas di dapatkan bahwa, Toleransi (Tasamuh) menurut Islam adalah bentuk kelonggaran, kelapangdadaan, kelembutan terhadap semua aspek sosial kecuali terhadap Sistem dan Prinsip Nilai Islam.

Ø  Toleransi dalam Hal Sosial

Dalam hal ini islam tidak melarang untuk bertoleransi. Seperti halnya Rasullallah SAW, di jamannya islam hidup berdampingan dengan kaum nasrani dan yahudi. Islam menjamin kehidupan mereka dengan seadil-adil tentu tetap menggunakan dengan aturan islam karena aturan ini tidak bisa ditoleransikan. Acuan Islam terhadap keadilan.


Artinya : “…Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Maa’idah : 2)

Pada saat itu Islam pun sering melakukan perniagaan dengan orang Nasrani atau Yahudi. Dan hal ini seperti yang dicontohkan Nabi saw., dalam jual beli. Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu 'anhu : bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membeli onta dari dirinya, beliau menimbang untuknya dan diberatkan (dilebihkan).

Dari Abu Sofwan Suwaid bin Qais Radliyallahu 'anhu dia berkata : "Saya dan Makhramah Al-Abdi memasok (mendatangkan) pakaian/makanan dari Hajar, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami dan belaiu membeli sirwal (celana), sedang aku memiliki tukang timbang yang digaji, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan tukang timbang tadi. Beliau bersabda: Timbanglah dan lebihkan !"

Tolong menolong sesama, menjenguk orang sakit, sabda Rasulullah saw.: “Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244).

Ø  Toleransi dalam Hal Sistem dan Prinsip Nilai Islam

Islam merupakan agama yang fleksibel dalam bertoleransi semua bisa bertoleransi, kecuali dalam hal Nilai dan Prinsip yang telah ditentukan oleh Allah swt. Islam tidak memaksa orang lain untuk mengikuti aturan islam namun Islam melindungi orang yang tunduk terhadap aturan yang dibuat oleh Allah swt. Dan dapat hidup berdampingan jika orang kafir dan non islam tidak memerangi atau memusuhi islam.


Artinya : (8) “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (9)Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Mumtahanah :8-9)

Ini beberapa hal yang tidak bisa di toleransikan oleh islam walaupun hanya sedikit. Allah Ta'ala dalam firmanNya:


Artinya : “(1) Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (2) aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (3)dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (4)dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5)dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. (6) untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Q.S. al-Kaafiruun: 1-6)

Ø  Sistem Nilai dalam islam

Islam merupakan agama yang berasal dari langit yang tidak bisa disejajarkan dengan agama lain menganai kebenarannya. Karena agama ini tidak diciptakan oleh manusia melainkan oleh sang pemilik manusia itu sendiri.

·         Tauhid; Merupakan sikap meng-Esakan Allah secara utuh dan menyeluruh. Contonya seorang muslim tidak bisa menganggap semua tuhan sama dan menganggap keberadaan tuhan agama lain.

·         Ibadah; Dalam bahasa arab kata ini berasal dari kata abada yang berarti menyembah. Tentu penyembahan ini harus jelas kepada siapa dan dengan selera siapa. Menurut ahli ushul ibadah adalah Seluruh aspek nama, yang jika dilakukan mendapat ridho Allah, baik berupa ucapan maupun secara perbuatan. Baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Contohnya seorang muslim tidak bisa bertoleransi dengan mengikuti cara ibadah agama lain maupun kut berpartisipasi di dalamnya dalam bentuk apapun.

·         Qiyamah; Secara Nahwu berkedudukan sebagai mushdar atau kata benda abstrak, yang di mustaq dari kata Qooma yang berarti berdiri, bangkit tegak. Secara sepintas berarti hari dimana sebuah kebenaran hakiki tegak bukan relative atas pandangan manusia. Contohnya seorang muslim tidak bisa bertoleransi dengan kebenaran yang lain sama-sama akan tegak melainkan hanya kebenaran islam lah yang tegak.

Ø  Prinsip Nilai dalam Islam

·         Tasdiq; Yang merupakan sifat membenarkan terhadap segala sesuatu yang bersumber dari Allah, Rasul dan Ulil Amri. Kebenaran ini mutlak hanya mengakui sebuah kebenara yang datang dari Allah. Contohnya seorang muslim tidak bisa menganggap kebenaran agama lain sama dengan kebenaran Islam.

·         Tasyri; Sebuah aturan atau hukum yang dibuat oleh Allah yang harus dipatuhi apapun bentuknya dimanapun dan bagaimanapun. Dan tidak bisa disesuaikan atau ditoleransikan dengan agama lain. Contohnya seorang muslim tidak bisa bertoleransi dengan hal yang melanggar aturan Islam.

·         Sirriyah; Menutup rahasia atau menyembunyikan sebuah hal tidak boleh diketahui oleh orang non-muslim. Hal ini dilakukan oleh pada jaman Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk proteksi kaum muslimin dari siasat atau rencana jahat yang dilakukan oleh orang kafir dan non muslim. Contoh yang dilakukan pada saat itu adalah merahasiakan tempat pendidikan (tarbiyah) dari kaum kafir.

     Jika sebuah toleransi menyentuh ranah di atas maka islam tidak bisa bertoleransi akan hal itu karena Kebenaran islam mutlak  datangnya dari Allah dan tidak bersandar kepada apapun.


 Artinya : “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S. al-Baqarah : 147)


Artinya :”…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”( Q.S. al-Maa’idah  :3)

D.    Pandangan Islam Tentang HIV AIDS [6]

1.      Pengertian HIV AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrome, secara harfiah Acquired artinya didapat bukan keturunan.Immune artinya sistem kekebalan. Deficiency adalah kekurangan, dan Syndrome yakni kumpulan gejala penyakit. Sedangkan secara terminologi AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang menyerang dan atau merusak  system kekebalan tubuh manusia melalui HIV (Human Immune Virus).

Sampai saat ini belum ada vaksin yang mampu mencegah HIV. Orang yang terinfeksi HIV akan menjadi karier selama hidupnya, atau malah mati.



2.      Penyebab HIV AIDS

Ø  Sex bebas (Zina)

Saat ini kita hidup di era penyakit HIV AIDS penyakit ini lahir akibat perilaku persetubuhan yang illegal antara laki-laki dan perempuan (dan hubungan homoseksual). Hubungan sex  yang terjadi pada pasangan non suami-istri adalah faktor  utama sebagai penyebab HIV AIDS, apalagi para wanita yang profesinya sebagai wanita penghibur/ pekerja sex komersial (PSK). Mungkin jika dipertanyakan kenapa penyakit ini tidak terjadi pada pasangan suami-istri, malah terjadi pada pasangan non suami-istri ?.

Alasan dari pertanyaan diatas adalah karena dalam rahim para pekerja sex komersial (PSK) mengandung berbagai sperma laki-laki, yang masing-masing sperma mempunyai sifat tersendiri, manakala sperma beberapa laki-laki bercampur dalam satu tempat, maka bertarunglah mikroba-mikroba yang dibawa oleh masing-masing sperma ditempat itu, dan  akhirnya timbullah berbagai macam penyakit. Sedangkan persetubuhan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan, hanya sperma suami sajalah yang masuk kerahim sang istri sehingga tidak terjadi apapun.

Kebiasaan main perempuan (berbuat zina) merupakan salah satu dari kebiasaan pada sebagaian masyarakat. Hal ini terbukti dengan masih eksisnya beberapa tempat pelacuran di negara kita yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Negara kita yang mayoritas penduduknya muslim ini, merupakan salah satu negara yang memiliki tempat pelacuran terbesar jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya. Ini adalah merupakan prestasi yang memalukan bagi umat Islam.



Islam telah melarang mendekati perbuatan di atas, sebagaimana firmannya:


Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ 

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Israa’: 32)



Artinya : “…Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka, sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” (Q.S. an-Nuur : 33)


Dari kedua ayat di atas, Allah swt. menjelaskan kepada hamba-Nya, bahwa segala bentuk perbuatan mendekati kepada zina (main perempuan), pelacuran dan seterusnya itu dilarang. Sebagai akibat dari perbuatan di atas adalah munculnya penyakit HIV AIDS yang hingga sekarang belum ditemukan obatnya.

Seks bebas dalam agama Islam dinamakan zina, yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan yang sah. Kemudian zina dalam ilmu fikih digolongkan menjadi dua golongan, yaitu zina muhshan, dan zina ghairu muhshan. Penggolongan ini berdasarkan dari pelaku yang sudah menikah dan belum menikah. Zina muhshan ialah zina yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah melakukan pernikahan, sedangkan zina ghairu muhshan zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah.


Al-Qur’an menyatakan pelaku zina diancam 100 kali. Ditegaskan dalam surat an-Nuur ayat 2:


Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nuur: 2)


Dari kandungan surat diatas kita bisa memahami bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat dilaknat, sehingga para pelakunya dihukum dengan dicambuk 100 kali. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim hukuman bagi pezina untuk zina muhshan adalah dicambuk 100 kali dan rajam (dilempari batu sampai mati), sedangkan untuk ghairu muhshan cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.


الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيْبُ بِالثَّيْبِ جِلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجَمِ (رواه مسلم)

Artinya : “Dan pezina gadis dan jejaka hukumanya jilid 100 kali dan diasingkan, dan perempuan yang sudah bersuami dan laki-laki yang sudah beristri hukumanya jilid 100 kali dan rajam”. (H.R. Muslim)

Demikian juga penyimpangan homo seksual yang dilakukan oleh kaumnya Nabi Luth yang dikutuk yang masih dilakukan oleh sebagian kaum di zaman sekarang. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus penyimpangan seksual dengan segala ragamnya, memang ada dan nyata.

Ø  Minuman Keras (MIRAS) dan Narkoba (IDU)

Miras dan Narkoba merupakan salah satu faktor penyebab terjangkitnya HIV AIDS, alasanya Miras dan Narkoba dapat menimbulkan hilangnya akal pikiran, sehingga orang yang meminumnya kecenderungan melakukan kriminal. selain itu, Miras dan Narkoba juga dapat menurunkan daya tubuh manusia, dan mengakibatkan sistem kekebalan tubuh manusia menurun, sehingga rentan dengan segala macam penyakit.

Hasil survey menunjukkan bahwa tiga perempat penghuni penjara mengaku melakukan tindak kriminalnya seusai menenggak miras. Menurut pakar AIDS, karena miras mendorong kearah hubungan seksual bebas, maka miras bisa dikatakan faktor utama yang memuluskan penyebaran AIDS. Disamping itu miras sendiri dapat mengakibatkan system kekebalan tubuh manusia menurun, sehingga ia lebih mudah terserang infeksi dan virus (HIV). Miras juga merupakan factor penting dalam merusak aspek kehidupan khususnya generasi muda, meningkatkan kriminalitas dan kecelakaan, korban penderita AIDS (sebagaimana diuraikan oleh David martin dalam tulisanya “Alcohol and AIDS: what is the connection”.

Agama Islam secara tegas menetapkan status keharaman miras dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90-91 :


Artinya : (90) “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (91) Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S. al-Maa’idah : 90-91)


Oleh karena itu, dibeberapa negara Islam yang memberlakukan ketetapan syari’at minuman yang mengandung alkohol (khamr) dilarang keras karena dikategorikan dosa besar. Berbeda dengan Kristen yang tidak mengategorikan sebagai larangan, tetapi Kristen tidak menolak anggapan bahwa miras memiliki dampak negatif terhadap peminumnya, kesemuanya membenarkan bahwa miras mengakibatkan kerugian nilai ekonomi yang besar, seperti penurunan produktifitas, membengkaknya biaya pengobatan dan juga perusakan harta benda akibat kecelakaan-kecelakaan.

Ini semua belum termasuk dampak negatif miras terhadap anggota keluarga, mulai dari bayi yang masih dalam kandungan sampai dengan orang tua. Termasuk keretakan dalam rumah tangga yang dipicu oleh miras.

Kalau kita amati dari ayat diatas, kandungan ayat al-Qur’an diatas menjelaskan tentang miras (khamr), bagaimana dengan narkoba, apa juga hukumnya sama dengan miras? Kita berangkat dari sebuah pengertian dari khamr. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :


كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامُ (رواه مسلم)


Artinya :“Semua yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram”. (H.R. Muslim)


Dengan demikian, segala jenis atau apa saja yang memabukkan haram. Apakah itu bentuk cair, atau padat seperti pil dan segala macam bentuknya, adalah haram. jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa narkoba juga termasuk khamr yang bisa menimbulkan penyakit HIV AIDS, karena, antara keduanya baik miras dan narkoba memiliki sifat yang sama yaitu bisa memabukkan dan bisa membuat daya tahan tubuh menurun, sehingga rentan dengan segala macam penyakit dan virus  termasuk HIV.




3.      Penularan HIV AIDS dalam Ilmu Kedokteran

Selain seks bebas dan khamr ada juga penyebab terjadinya HIV AIDS yang lain, akan tetapi penulis menganggap penyebab HIV AIDS berikut adalah sebagai buah dari kesalahan orang lain dan bisa dikatakan sebagai musibah. Virus HIV AIDS bisa menular melalui enam cara penularan, yaitu:

Ø  Hubungan seksual dengan pengidap HIV AIDS

Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan  bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.

Ø  Ibu pada Bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,07%. Bila ibu baru terinfeks HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi yang terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%. Sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinanya mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi  maternal saat melahirkan. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan  bisa dipersingkat dengan operasi sectiocaesaria. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.

Ø  Darah dan produk darah yang tercemar HIV AIDS

Sangatlah cepat penularan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Ø  Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV.

Ø  Alat-alat untuk menorah kulit

Alat tajam dan runcing sperti jarum pisau, silat, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

Ø  Menggunakan jarum suntik secara bergantian

Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba atau injecting drug uter (IDU) yang berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk dan gelas pengoplos obat sehingga berpotensi tinggi menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan dipipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV AIDS, gigitan nyamuk dan hubungan sosial lain.

4.      HIV AIDS dalam Sudut Pandang Islam

Pada dasarnya HIV AIDS merupakan akibat dari penyimpangan tindakan sosial yang berupa perzinahan. Akan tetapi, akibat dari penyimpangan itu dirasakan oleh banyak pihak. Orang yang tidak berkecimpung dalam dunia sex bebas, pemakai miras dan narkoba  bisa terkena imbas dari perbuatan yang dilaknat oleh agama. HIV AIDS bisa dikatakan dalam dua kesimpulan:

Ø  Buah dari kehidupan yang menyimpang dari ajaran agama, seperti penyalahgunaan  NARKOBA dan MIRAS, juga penyimpangan sex seperti sex bebas (Zina), dan homo seksual. Bisa dikatakan HIV AIDS adalah azab yang diberikan oleh Allah swt. karena melakukan perbuatan yang dilaknat oleh agama. berdasarkan atas ayat al-Qur’an:


Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (Q.S. al-Baaqarah: 219)


Ø HIV AIDS adalah musibah bagi penderita yang tak melakukan hal-hal yang menyimpang agama  karena adanya penularan dari pengidap HIV. Bahaya penyakit ini tidak hanya mengancam pelaku perbuatan terkutuk itu saja, namun juga akan menyebar kepada orang lain.

Seperti penularan HIV AIDS melalui hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah, akan tetapi karena pasangannya pernah melakukan penyimpangan maka ia harus mendapat imbasnya yaitu tertular penyakit HIV AIDS.

Contoh-contoh penularan yang lain juga sama, apalagi jika kita lihat, HIV AIDS menjangkit pada tubuh bayi-bayi yang tidak berdosa. Maka oleh karena itu, yang harus kita lakukan jika penyakit HIV atau penyakit lain ada pada diri kita, yang penyebabnya bukanlah lahir dari kesalahan diri kita karena melakukan penyimpangan agama  adalah sabar dan bertawakkal pada allah. Karena itu merupakan ujian dari Allah.  Seperti yang terkandung dalam surat al-Baaqarah:


Artinya : (155)“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.” (Q.S. al-Baaqarah :155-156)







[1] Katimin dan Ahmad Dayan Lubis, Isu-Isu Islam Kontemporer, (Bandung : Citapustaka Media, 2006) h. 92

[2] Katimin dan Ahmad Dayan Lubis, Isu-Isu Islam Kontemporer, (Bandung : Citapustaka Media, 2006) h. 96-98

[3] Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009) h.18-23

[4] Katimin dan Ahmad Dayan Lubis, Isu-Isu Islam Kontemporer, (Bandung : Citapustaka Media, 2006) h. 148-155

[5] Ali Akbar A., Toleransi Menurut Pandangan Islam (makalah), diunduh Kamis 24 Maret 2016)

[6] http://krmubtadiin.blogspot.co.id/2014/05/hiv-aids-dalam-sudut-pandang-islam.html ( diunduh Kamis 31 Maret 2016; 15:36 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar