Minggu, 15 Mei 2016

INTELIGENSI DALAM PSIKOLOGI

PENGERTIAN, TEORI, DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTELEGENSI SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PROSES BELAJAR 





A.    Pengertian Intelegensi

Menurut KBBI, Inteligensi adalah daya reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalaman baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada fakta atau kondisi baru atau bisa juga dikatakan dengan  kecerdasan.[1]




Menurut Wechsler, Inteligensi adalah kemampuan bertindak dengan menetapkan suatu tujuan, untuk berpikir secara rasional, dan untuk berhubung dengan lingkungan disekitarnya secara memuaskan.

W. Stern mengatakan bahwa inteligensi adalah merupakan kemampuan untuk mengetahui problem serta kondisi baru, kemampuan berpikir abstrak, kemampuan bekerja, kemampuan menguasai tingkah laku instinktif, serta kemampuan menerima hubungan yang kompleks termasuk apa yang disebut dengan inteligensi.

Binet, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri.

Sedangkan menurut pendapat Terman, inteligensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak.

Edouard Claparede (1873-1940) seorang pakar psikologi pendidikan Prancis dan William Stern (1871-1938), seorang pakar psikologi Jerman, penemu konsep IQ, misalnya, mendefenisikan inteligensi secara sangat fungsional dan terbatas, yaitu : “Inteligensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru”. Dilain pihak, Karl Buhler (1879-1963) pakar psikologi Gestalt yang terkenal dengan eksperimennya tentang inteligensi pada hewan, memberi definisi yang sangat luas, yaitu: “Inteligensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian” .

Definisi-definisi lain juga tidak kalah bervariasinya, seperti yang disampaikan oleh Alfred Binet (1857-1911), psikolog Prancis, salah satu penemu pertama alat ukur inteligensi. Binet lebih menggambarkan, bukan mendefinisikan, inteligensi sebagai: “Penilaian, atau disebut juga akal yang baik (good sense), berpikir praktis (practical sense), inisiatif, kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri kepada keadaan.”[2]

Alfred Binet, dikenal sebagai pelopor dalam penyusun tes inteligensi, mengemukakan pendapatnya mengenai inteligensi sebagai berikut: Inteligensi mempunyai tiga aspek kemampuan, yaitu:

1.      Direction, kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan.

2.      Adaptation, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau fleksibel dalam menghadapi masalah.

3.      Criticism, kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri.

L.L. Thurstone, ia mengemukakan teori multifaktor yang meliputi 13 faktor. Diantara ketiga belas faktor tersebut, ada 7 faktor yang merupakan faktor dasar (primary abilities ), yaitu:

1.      Verbal comprehension (V), kecakapan untuk memahami pengertian yang diucapkan dengan kata-kata;

2.      Word fluency (W), kecakapan dan kefasihan menggunakan kata-kata;

3.      Number (N) , kecakapan untuk memecahkan masalah matematika (penggunaan angka-angka/bilangan);

4.      Space (S), kecakapan tilikan ruang, sesuai dengan bentuk hubungan formal, seperti menggambarkan design from memory;

5.      Memory (M), kecakapan untuk mengingat;

6.      Perceptual (P), kecakapan mengamati dan menafsirkan, mengamati persamaan dan perbedaan suatu objek; tes ini kadang-kadang dihilangkan dalam beberapa bentuk.

7.      Reasoning (R), kecakapan menemukan dan menggunakan prinsip-prinsip.

S.C. Utami Munandar, secara umum inteligensi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.      Kemampuan untuk berpikir abstrak;

2.      Kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar;

3.      Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.

            Perumusan pertama melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir; perumusan kedua sebagai kemampuan untuk belajar; dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Sekalipun menunjukkan aspek-aspek yang berbeda dari inteligensi, ketiga aspek tersebut saling berkaitan.[3]

Versi Mainstream Science on Intelligence (MSI), 1994, mencoba memberikan definisi yang merupakan kompilasi dari pendapat-pendapat ke-52 penandatangan naskah definisi itu, yaitu bahwa intelignsi adalah “suatu kemampuan mental yang sangat umum yang antara lain melibatkan kemampuan akal, merencana, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami ide-ide yang kompleks, cepat belajar, dan belajar dari pengalaman”.

Inteligensi bukan hanya menyangkut kemampuan belajar dari buku, kemampuan akademik tertentu, atau pandai mengerjakan tes. Sebaliknya, inteligensi menggambarkan suatu kemampuan yang lebih mendalam dan meluas dalam memahami lingkungan kita-“menangkap”, “mengerti”, atau”mereka-reka”-apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan. Jadi, definisi inteligensi menurut versi MSI merujuk kepada faktor”G” (general/umum) dari pada inteligensi itu.[4]

Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, jelaslah bahwa inteligensi pada hakikatnya merupakan suatu kemampuan dasar yang bersifat umum untuk memperoleh suatu kecakapan yang mengandung berbagai komponen.[5]

Dengan kata lain dapat diambil kesimpulan bahwa Intelegensi adalah kemampuan akal seseorang dalam memperhatikan, mencermati, memahami, memproses, memikirkan dan menghasilkan sesuatu, baik itu perbuatan dan lainnya atas berbagai kejadian/hal yang terjadi atau dihadapi secara cepat, tepat, dan benar.

B.   Teori Inteligensi

1.    Teori “Two Factors”

      Teori ini dikemukakan oleh Charles Spearmen. Dia berpendapat bahwa inteligensi itu meliputi kemampuan umum yang diberi kode “G” (general factors), dan kemampuan khusus yang diberi kode “S” (specific factors). Setiap individu memiliki kedua kemampuan ini yang keduanya menentukan penampilan atau perilaku mentalnya.

a.       Faktor umum (G), general factor Faktor G, mencakup semua kegiatan intelektual yang dimiliki oleh setiap orang dalam berbagai derajat tertentu. Contohnya penyanyi, orang yang mempunyai suara yang merdu dengan musikalitas yang tinggi tanpa latihan. General factor mempunyai beberapa karakteristik, antara lain sebagai berikut:

1)      Merupakan kemampuan umum yang dibawa sejak lahir

2)      Bersifat konstan

3)      Dipergunakan dalam setiap kegiatan individu

4)      Jumlah faktor G setiap individu berbeda

5)      Semakin besar jumlah G yang ada dalam diri seseorang, maka makin besar kemungkinan kesuksesan hidupnya

b.      Faktor khusus (S), specific factors Faktor S, mencakup berbagai faktor khusus tertentu yang relevan dengan tugas tertentu. Contohnya pianis, dengan latihan yang giat setiap orang  dapat bermain piano dengan baik. Atau seorang ahli matematika, dengan terus menerus berlatih mengerjakan soal-soal matematika seseorang akan dapat mengerjakan soal dengan baik. Specific factor mempunyai beberapa karakteristik, antara lain sebagai berikut:

1)      Dipelajari dan diperoleh dari lingkungan

2)      Bervariasi dari kegiatan yang satu dengan lainnya dari individu yang sama

3)      Jumlah muatan S pada tiap-tiap individu berbeda

            Kedua faktor di atas terkadang tumpang tindih dan terkadang pula terlihat berbeda. Menurut Spearman, faktor G lebih banyak mewakili segi genetis dan faktor S lebih banyak diperoleh melalui latihan dan pendidikan. Kedua faktor diatas sangat penting untuk melihat kemampuan individu saat berpindah dari situasi satu ke situasi yang lainnya.

2.      Teori “Primary Mental Abilities”

                        Teori ini dikemukakan oleh Thurstone. Thurstone berpendapat bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu (a) kemampuan berbahasa: verbal comprehension; (b) kemampuan mengingat: memory; (c) kemampuan nalar atau berpikir logis: reasoning; (d) kemampuan tilikan ruang; spatial factor; (e) kemampuan bilangan: numerical abilty; (f) kemampuan menggunakan kata-kata: word fluency; dan (g) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat: perceptual speed.

3.      Teori “Multiple Intelligence”

            Teori ini dikemukakan oleh J.P. Guilford dan Howard Gardner. Guilford berpendapat bahwa inteligensi itu dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu sebagai berikut: a) Operasi Mental (Proses Berpikir) b) Content (Isi yang Dipikirkan) c) Product (Hasil Berpikir). Tokoh berikutnya dari teori multiple intelligence ini adalah Howard Gardner. Gardner membagi inteligensi itu dalam 7 jenis, yaitu:

a.       Logical-Mathematical (Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati polapola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berpikir rasional/logis)

b.      Linguistic (Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kaata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa)

c.       Musical (Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada, dan bentuk-bentuk ekspresi musik) d. Spatial (Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut)

d.       Bodily Kinesthetic (Kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan menangani objek-objek secara terampil)

e.       Interpersonal (Kemampuan untuk mengamati dan merespon suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain)

f.       Intrapersonal (Kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan, serta inteligensi sendiri).

Dalam buku terbarunya, “Intelligence Reframed : Multiple Intelligence for The 21st Century” (1999), Howard Gardner menjelaskan 8 kecerdasan yang tersimpan dalam otak manusia. Ada penambahan satu dari tujuh jenis kecerdasan/keahlian sebelumnya, yaitu keahlian naturalis (Cerdas Alam/Nature Smart): kemampuan mengamati pola-pola alam, memahami sistem alam, dan sistem-sistem buatan manusia.

Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi jelaslah bahwa kecerdasan, yang biasanya diukur dengan skala IQ, memang bukan elemen tunggal atau tiket menuju sukses.

4.      Teori “Triachic of intelligence”

Teori ini dikemukakan oleh oleh Robert Stenberg. Teori ini merupakan pendekatan proses kognitif untuk memahami inteligensi. Stenberg mengartikannya sebagai suatu deskripsi tiga bagian kemampuan mental (proses berpikir, mengatasi pengalaman atau masalah baru, dan penyesuaian terhadap situasi yang dihadapi) yang menunjukkan tingkah laku inteligen. Dengan kata lain, tingkah laku inteligen itu merupakan produk (hasil) dari penerapan strategi berpikir, mengatasi masalah-masalah baru secara kreatif dan cepat, dan penyesuaian terhadap konteks dengan menyeleksi dan ber-adaptasi dengan lingkungan.

Uraian di atas menjelaskan inteligensi dalam ukuran kemampuan intelektual atau tataran kognitif. Pandangan lama menunjukkan bahwa kualitas inteligensi yang tinggi dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Menurut Goleman, saat ini telah berkembang pandangan lain yang menyatakan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi keberhasilan individu bukan sematamata ditentukan oleh tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor kemantapan emosional yang oleh ahlinya, yaitu Daniel Goleman disebut Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional).

Berdasarkan pengamatannya, banyak orang yang gagal dalam hidupnya bukan karena kecerdasan intelektualnya rendah, namun karena mereka kurang memiliki kecerdasan emosional. Tidak sedikit orang yang sukses dalam hidupnya karena mereka memiliki kecerdasan emosional meskipun kecerdasan intelektualnya hanya pada tingkat rata-rata. Kecerdasan emosional ini merujuk kepada kemampuan-kemampuan kesadaran diri, mengendalikan diri (mengelola emosi), memotivasi diri (memanfaatkan emosi secara produktif), dan berempati, dan membina hubungan.[6]

C.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inteligensi

      Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi, sehingga terdapat perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain, ialah:

1.      Pembawaan: pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. “Batas kesanggupan kita”, yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita. Orang itu ada yang pintar dan ada yang bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu masih tetap ada.

2.      Kematangan: Tiap organ dalam tubuh anusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tak dapat memecahkan soal-soal tertentu, karena soal-soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan umur.

3.      Minat dan pembawaan yang khas: Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berintekrasi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motives). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.

4.      Kebebasan: Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya, dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan intelijensi.

Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk menentukan intelijen atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut diatas. Intelijensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.[7]

Dan dalam buku lain, disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Intelegensi adalah :

1.      Pembawaan. Ialah segala kesangkupan kita yang telah kita bawa sejak lahir, dan yang tidak sama pada tiap orang.

2.      Kemasakan. Ialah saat munculnya sesuatu daya jiwa kita yang kemudian berkembang dan mencapai saat puncaknya.

3.      Pembentukan. Ialah segala faktor luar yang mempengaruhi intelegensi dimasa perkembangannya.

4.      Minat. Inilah yang merupakan motor penggerak dari intelegensi kita.[8]

Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat inteligensi yang berbeda. Adanya perbedaan tersebut dapat diketahui bahwa inteligensi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.

1.      Pengaruh faktor bawaan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi (+0,50), orang yang kembar (+0,90) yang tidak bersanak saudara ( +0,20), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( +0,10 – +0,20 ).

2.      Pengaruh faktor lingkungan. Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan inteligensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).

3.      Stabilitas inteligensi dan IQ. Inteligensi bukanlah IQ. Inteligensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes inteligensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari inteligensi). Stabilitas inteligensi tergantung perkembangan organik otak.

4.      Pengaruh faktor kematangan. Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.

5.      Pengaruh faktor pembentukan. Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.

6.      Minat dan pembawaan yang khas. Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.

7.      Kebebasan. Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.

      Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan inteligensi seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena inteligensi adalah faktor total. Keseluruhan faktor turut serta menentukan dalam inteligensi seseorang.

      Inteligensi dapat ditingkatkan walaupun peningkatan tidak menghasilkan skor yang signifikan (pada range yang sama). Inteligensi dapat ditingkatkan pada masa perkembangan bukan pada masa pembentukan. Maksudnya ialah inteligensi dapat ditingkatkan ketika seseorang sudah berada pada tahap dapat berpikir secara abstrak bukan pada tahap dimana anak masih berpikir secara kongkrit (nyata).

      Inteligensi dapat ditingkatkan melalui stimulus lingkungan, gizi/nutrisi, dan ketika memasuki masa golden age (5 tahun pertama) si anak diberi stimulusstimulus yang dapat membangkitkan daya pikir dan daya nalar terhadap suatu objek atau hal-hal tertentu. Peningkatan inteligensi tidak berkaitan dengan genetika namun dipengaruhi oleh stimulus-stimulus yang diberikan lingkungan.

      Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup bagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi untuk menjamin anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses
sekolah semata. Kedua orang tua harus berusaha sebaik mungkin untuk menentukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing anak. Sebaliknya, lingkungan yang buruk dapat saja mengubah inteligensi seseorang yang semata-mata karena ia berada dalam didikan lingkungan tersebut.

      Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa inteligensi seseorang dapat mengalami perubahan, baik meningkat maupun menurun karena faktor lingkungan.[9] Dan dapat pula mengubah (meningkatkan inteligensi) dengan usaha ataupun kemauan dalam mengubahnya, sesuai dengan firman Allah swt.:

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ

Artinya : “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (Q.S. ar-Ra’d : 11)

      Dan ungkapan مَنْ جَدّ وَ جَدًّ (siapa yang bersungguh-sungguh, pasti mendapat); oleh karenanya, tidak ada kata tidak mungkin, jika Allah swt. memang menghendakinya.


D.    Kaitan Inteligensi dengan Proses Belajar

Keberhasilan belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya intelegensi (Intelligence).

Pada umumnya orang berpendapat bahwa intelegensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar. Pada gilirannya akan
memberikan hasil yang optimal. Hal ini didukung oleh fakta bahwa lembaga-lembaga pendidikan lebih bersedia menerima calon siswa yang menampakkan
indikasi kemampuan intelektual tinggi daripada yang tidak. Fakta lain adalah didirikannya lembagalembaga pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki hambatan atau kelemahan intelektual.

Belajar, dalam pengertian yang paling umum, adalah setiap perubahan perilaku akibat pengalaman yang diperoleh, atau sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Karena manusia bersifat dinamis dan terbuka terhadap berbagai perubahan yang terjadi pada dirinya dan lingkungan sekitarnya maka proses belajar akan selalu terjadi tanpa henti.

Keberhasilan belajar dinyatakan dalam berbagai indikator berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, prediksi keberhasilan dan
semacamnya. Para ahli mengatakan bahwa keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam diri (internal) maupun
dari luar (eksternal) individu. Faktor internal meliputi keadaan fisik secara umum. Sedangkan psikologi meliputi variable kognitif termasuk di dalamnya
adalah kemampuan khusus (bakat) dan kemampuan umum (intelegensi). Variabel non kognitif adalah minat, motivasi, dan variabel-variabel kepribadian.
Faktor eskternal meliputi aspek fisik dan sosial. Kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan
belajar merupakan aspek fisik. Sedangkan dukungan sosial dan pengaruh budaya termasuk aspek sosial.

Selain konsep tersebut di atas Daniel Goleman (1999) mengemukakan konsep kecerdasan yang dapat mempengaruhi peningkatan prestasi
seseorang yaitu kecerdasan emosi (Emotional Intelligence). Menurut Goleman, kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosi mencakup kemampuan– kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic
intelligence), yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar dan memiliki prestasi akademik tetapi
kecerdasan emosinya rendah, kerap bekerja sebagi bawahan orang ber-IQ lebih rendah namun unggul dalam kecerdasan emosi.

Keberhasilan belajar ditentukan oleh interaksi berbagai faktor. Peranan faktor penentu itu tidak selalu sama dan tetap. Besarnya kontribusi
salah satu faktor akan ditentukan oleh kehadiran faktor lain dan sangat bersifat situasional, yaitu tidak dapat diprediksikan dengan cermat akibat
keterlibatan faktor lain yang sangat variatif.

Inteligensia sebagi unsur kognitif dianggap memegang peranan yang cukup penting. Bahkan kadang-kadang timbul anggapan yang menempatkan inteligensia pada peranan yang melebihi proporsi yang sebenarnya. Sebagian orang bahkan
menganggap bahwa hasil tes IQ yang tinggi merupakan kunci kesuksesan dalam belajar.

Akibatnya bila terjadi kasus kegagalan belajar pada anak yang memiliki IQ tinggi menimbulkan reaksi berlebihan berupa kehilangan kepercayaan pada
institusi yang menggagalkan anak tersebut, atau kehilangan kepercayaan pada pihak yang telah memberikan diagnosa IQ-nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intelegensi hanya merupakan salah satu faktor yang
ikut menentukan keberhasilan dalam belajar. Interaksi antar berbagai faktor (internal dan eksternal) yang menjadi determinan atau penentu bagaimana hasil akhir proses belajar yang dialami individu. Peranan masing-masing faktor penentu
tidak selalu sama dan tetap. Meskipun banyak orang berpendapat untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki intelegensi yang
juga tinggi. Hal ini karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar.

Kenyataannya, dalam proses pembelajaran di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan
kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Namun, ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya rendah, dapat meraih prestasi belajar
yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada
faktor lain yang mempengaruhi. Kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.

Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh antara intelegensi dengan prestasi belajar telah banyak dilakukan. Penelitian Utami Munandar menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara intelegensi dengan prestasi belajar sebesar r = 0,72 di SD dan r = 0,58 di SMP. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa besarnya hubungan antara keberhasilan belajar dan intelegensi.

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.

 IQ tinggi ditandai dengan ingatan yang kuat (As’adi Muhammad, 2010:51). IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan
IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak.

Menurut teori Binet dalam Sumadi Suryabrata, sifat hakikat inteligensi ada tiga macam, yaitu:

1.      Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakaplah dia membuat tujuan sendiri, tidak menunggu perintah saja. Semakin cerdas seseorang, maka dia akan makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain dan suasana lain.

2.      Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud mencapai tujuan. Jadi makin cerdas seseorang dia akan makin dapat menyesuaikan caracara menghadapi sesuatu dengan semestinya dan makin dapat bersikap kritis.

3.      Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dapat dia belajar dari kesalahannya, kesalahan yang telah dibuatnya tidak mudah di ulang lagi.

Seseorang yang memiliki inteligensi yang tinggi cenderung memiliki perbedaan dan kelebihan dalam menanggapi sesuatu permasalahan demi mencapai tujuannya. Pelajar yang memiliki inteligensi tinggi dalam proses belajar, dia akan lebih mudah mengatasi masalahnya dan cenderung bisa mencapai tujuan pembelajaran. Ini dikarenakan seorang pelajar yang memiliki inteligensi tinggi cenderung bisa menentukan tujuannya tanpa harus mendapatkan bimbingan lebih dari gurunya, dan dapat menyesuaikan dirinya untuk mencapai tujuan.

Selain itu, seorang pelajar yang memiliki inteligensi yang tinggi memiliki kemampuan oto-kritik yang tinggi, sehingga dia bisa memperbaiki diri dari kesalahan yang ada. Sebaliknya, seorang pelajar dengan inteligensi yang rendah (pada tingkatan di bawah normal) tidak akan sama kemampuannya dalam kegiatan belajar. Bagi seorang guru dengan diketahuinya inteligensi akan mempengaruhi dalam perlakuan kepada subjek didik yang berbeda-beda tersebut.

Seiring dengan pendapat di atas, Khadijah mengemukakan, inteligensi seseorang diyakini sangat berpengaruh pada keberhasilan belajar yang
dicapainya. Berdasarkan hasil penelitian, prestasi belajar biasanya berkorelasi searah dengan tingkat inteligensi. Artinya, semakin tinggi tingkat inteligensi seseorang, maka semakin tinggi prestasi belajar yang dicapainya. Bahkan menurut sebagian besar ahli, inteligensi merupakan modal utama dalam belajar dan mencapai hasil yang optimal. Anak yang memiliki skor IQ di bawah 70 tidak mungkin dapat belajar dan mencapai hasil belajar seperti anak-anak dengan skor IQ normal, apalagi dengan anak-anak jenius.

Kenyataan menunjukkan bahwa setiap anak memiliki tingkat inteligensi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tampak memberikan warna di dalam kelas. Selama menerima pelajaran yang diberikan oleh guru, ada anak yang dapat mengerti dengan cepat apa yang disampaikan oleh guru, dan ada pula anak yang lamban dalam menerima pelajaran, ada anak yang cepat dan ada yang lamban dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Perbedaan individu dalam inteligensi ini perlu diketahui dan dipahami oleh guru, terutama dalam hubungannya dengan pengelompokan siswa. Selain itu, guru harus menyesuaikan tujuan pembelajarannya dengan kapasitas inteligensi siswa. Perbedaan inteligensi yang dimiliki oleh siswa membuat guru harus mengupayakan agar pembelajaran yang ia berikan dapat membantu semua siswa dengan perlakuan metode yang beragam.

Lebih lanjut Khadijah mengatakan, perbedaan tersebut juga tampak dari hasil belajar yang dicapai. Tinggi rendahnya hasil belajar yang dicapai oleh siswa bergantung pada tinggi rendahnya inteligensi yang dimiliki. Meski demikian, inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Seperti telah dikemukakan bahwa banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhinya. Yang terpenting dalam hal ini adalah guru harus bijaksana dalam menyikapi perbedaan tersebut.[11]

Pengaruh intelegensi terhadap keberhasilan belajar adalah masalah dimensionalitas intelegensi dalam prestasi pada pendidikan di sekolah. Dengan demikian hasil penelitian tentang pengaruh intelegensi dengan keberhasilan belajar atau prestasi belajar telah banyak dilakukan. Pada umumnya hasil yang diperoleh signifikan. Hal ini menunjukkan ada korelasi yang cukup tinggi antara intelegensi dengan keberhasilan belajar, semakin tinggi intelegensi siswa semakin tinggi pula prestasi yang diperoleh.[12]




































DAFTAR PUSTAKA


Arsyad, Lukman. 2014. Pengaruh Faktor Genetik dan Intelegensi Terhadap Keberhasilan Belajar Anak, Jurnal Manajemen Pendidikan Islam.

KBBI offline (19 Maret 2016) Pukul 10:44 WIB

Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remadja Karya CV.

Rahmawati,  Arti Penting Inteligensi Dalam Dunia Pendidikan, Jurnal.

Sarwono, SarlitoW.. 2010. Pengantar Psikologi Umum.

Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah.

Bandung : Pustaka Setia.

Sujanto, Agus. 1993. Psikologi Umum. Jakarta : Bumi Aksara.

Sukardi, Dewa Ketut. 1990. Analisis Tes Psikologis. Denpasar : Rineka Cipta.

Suyanto dan Pardijono, Kontribusi Intelegensi Terhadap Prestasi Belajar

Penjasorkes Siswa Kelas 5 SD Harapan, Jurnal.


[1] KBBI offline (19 Maret 2016) Pukul 10:44 WIB

[2]Dewa Ketut Sukardi, Analisis Tes Psikologis, (Denpasar: Rineka Cipta, 1990) hal 16

[3] Alex Sobur, Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.156-157.

[4] Sarlito W.Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal 154-155

[5] Dewa Ketut Sukardi, Analisis Tes Psikologis, (Denpasar: Rineka Cipta, 1990) hal 16

[6] Rahmawati,  “Arti Penting Inteligensi Dalam Dunia Pendidikan,” Jurnal, h. 7

[7] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: Remadja karya CV,), h. 58-59

[8] Agus Sujanto, Psikologi Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993) h. 66

[9] Rahmawati,  “Arti Penting Inteligensi Dalam Dunia Pendidikan,” Jurnal, h. 5-7

[10] Lukman Arsyad, “Pengaruh Faktor Genetik dan Intelegensi Terhadap Keberhasilan Belajar Anak,” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 2014, h. 202

[11] Rahmawati,  “Arti Penting Inteligensi Dalam Dunia Pendidikan,” Jurnal, h. 11.

[12] Lukman Arsyad, “Pengaruh Faktor Genetik dan Intelegensi Terhadap Keberhasilan Belajar Anak,” Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 2014, h. 207

[13]Suyanto dan Pardijono, Kontribusi Intelegensi Terhadap Prestasi Belajar Penjasorkes Siswa Kelas 5 SD Harapan, Jurnal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar