Minggu, 15 Mei 2016

MANUSIA MENURUT ILMU TASAWUF (AKHLAK TASAWUF)


MANUSIA MENURUT ILMU TASAWUF
 
 

A.    Kejadian Manusia

Allah swt. menciptakan alam semesta dan makhluk-makhluk yang beraneka ragam ini tidak sekaligus, melainkan melalui tahapan-tahapn selama enam periode seperti firman-Nya dalam al-Qur’an surah al-A’raf ayat 54 :


Artinya : “ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-A’raaf : 54)

            Literatur-literatur ke-Islaman tidak pernah membahas dan menjelaskan secara rinci urutan atau periodisasi penciptaan makhluk Allah, sehingga tidak diketahui jenis makhluk apa yang diciptakan Allah pada periode pertama, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode kedua, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode ketiga, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode keempat, dan periode kelima. Tetapi semua ilmuan muslim mengatakan bahwa manusia dalam tatanan kronologis penciptaan merupakan makhluk ciptaan yang paling bungsu (ciptaan terakhir), setelah terciptanya makhluk-mahkluk laindi sekitarnya.

            Menurut urutannya, ciptaan awal Allah swt. sebelum manusia adalah alam semesta dan segala isinya termasuk udara, tanah dan air. Di atas media ini (secara logika) baru dapat hidup tumbuh-tumbuhan. Sesudah itu barulah dimungkinkan hidupnya hewan. Jadi penciptaan generasi makhluk tersebut, secara logika tidak mungkin serentak. Sebab setiap makhluk ciptaan itu saling memerlukan antar sesamanya. Masing- masing tidak mungkin hidup secara terpisah sendiri-sendiri. Manusia sebagai generasi makhluk yang paling akhir memerlukan dukungan ketiga makhluk generasi sebelumnya, yaitu 1) udara, air dan tanah; 2) tumbuh-tumbuhan; 3) hewan.

            Dikalangan sufi secara tidak tertulis diajawakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah alam nur, kemudian pada masa kedua diciptakan alam arwah, pada masa ketiga diciptakan alam malakut, pada masa keempat diciptakan alam jabarut, pada masa kelima diciptakan alam mitsal, dan pada ,asa terakhir (yaitu masa keenam) diciptakan alam insan (alam manusia).

            Sebagai makhluk yang paling bungsu, manusia merupakan ciptaan dan karya Allah swt. yang paling istimewa dan penuh rahasia. Manusia merupakan sstu-satunya makhluk Allah yang eprbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Keistimewaan dan kerahasiaan manusia disbanding seluruh makhluk-makhluk lain adalah kejadiannya yang terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan rohani.

1.      Dimensi Jasmaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Menurut al-Qur’an, penciptaan tubuh Adam sebagai manusia pertama adalah dari tanah langsung. Seperti dijelaskan dalam surah Ali-Imraan ayat 59:


Artinya : “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.” (Q.S. Ali-Imraan : 59)

            Jika jasmani Adam sebagai manusia pertama diciptakan langsung dari tanah, tetapi keturunannya (manusia; generasi berikutnya) tidak lagi diciptakan langsung dari tanah, melinkan dari saripati tanah seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an :


Artinya : “12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. al-Mukminuun : 12-14)

                Demikianlah asal kejadian (proses penciptaan) jasmani manusia itu, diciptakan Allah swt. dari tanah atau saripati tanah yang kemudian dalam kehidupannya mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang selanjutnya mengalami penuaan dan pada gilirannya mengalami kematian (kembali ke tanah). Karena tercipta dari tanah yang bersifat benda materi, jasmani manusia adalah sesuatu yang dapat dilihat, diraba, terikat serta tunduk atau terpengaruh dengan sifat-sifat alam materi, kebutuhan jasmani itu adalah sesuatu yang bersifat materi seperti: makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya.



2.      Dimensi Rohaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Sekalipun proses penciptaan jasmani manusia sudah sempurna, namun pada saat roh belum ditiupkan ke dalamnya, jasmani manusia itu belum merupakan makhluk hidup. Jasmani tersebut menjadi manusia setelah roh ditiupkan Allah kepadanya.

Dengan demikian hakikat manusia adalah roh yang ditiupkan Allah, yang roh ini ternyata lebih mulai dari para malaikat, iblis, jin dan sekalian mahkluk ciptaan Allah, karena setelah roh ditiupkan Allah ke dalam jasad, para malaikat diperintahkan untuk hormat/sujud kepada manusia. Disinilah kekeliruan iblis dalam memandang manusia dari satu aspek jasmaniah yang tercipta dari saripati tanah, tidak memandang manusia dari aspek hakikat yaitu roh atau An-Nafs.

Akibat dari kekeliruan tersebut, iblis merasa bahwa dirinya jauh lebih mulia dari manusia yang diciptakan dari tanah sedangkan dirinya diciptakan dari api, sehingga iblis enggan dan ingkar (kufur) terhadap perintah Allah swt. yang memerintahkan mereka untuk bersujud kepada manusia. Seperti firman Allah swt:


Artinya : “28. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, 29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. 30. Maka bersujudlah Para Malaikat itu semuanya bersama-sama 31. kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu, 32. Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?", 33. berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk".” (Q.S. al-Hijr : 28-33)

            Dan juga Allah swt. berfirman :


Artinya : “dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah : 34)

            Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia itu diciptakan Allah dari nur yang paling dekat dengan zat Allah yang disebut dengan istilah “Asrori nurihi” (rahasia nur-Nya), sehingga seperti dikatakan oleh Haidar Putra Daulay, bahwa : “Ruh manusia tidak terpisah dengan Tuhan, ia ibarat matahari dengan cahayanya”. Hubungan antara Allah dengan roh manusia tidak terpisahkan. “Hubungan antar keduanya bisa terganggu apabila roh manusia dipengaruhi oleh tarikan material yang ada pada diri manusia”, yaitu tarikan (hawa) dari jasad/jasmaniah yang selalu tunduk pada sifat-sifat alam materi.

            Roh itu sebelum ditiupkan ke dalam jasad manusia, dihidupkan di suatu alam (alam ghaib) yang oelh ulama sufi disebut “alam arwah”. Di dalam arwah ini para roh manusia senantiasa bertasbih mensucikan dan memuliakan Allah swt., karena para arwah tersebut dapat menyaksikan Zat Allah dengan semua kesempurnaan-Nya. Di manakah alam arwah  itu berada? Manusia tidak akan dapat mengetahuinya, karena alam arwah ini adalah merupakan kekuasaan Allah secara mutlak sehingga disebut dengan “alam al-Mulk” atau alam yang hanya Allah mengetahuinya sehingga disebut dengan istilah “alam amar Rob” (alam urusan Allah), seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 85 :


Artinya : “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".” (Q.S. al-Israa’ : 85)

Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia yang tercipta dari alam nur, memiliki kebutuhan yang berbeda dengan jasmani. Jika  kebutuhan jasmani adalah sesuatu yang bersifat materi, maka kebutuhan rohani manusia adalah bertasbih dan berzikir. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka rohani manusia akan mengalami kegelisahan dan apabila terpenuhi maka rohani manusia akan menjadi tentram seperti ditegaskan dalam surah ar-Ra’du ayat 28 :


Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. ar-Ra’d : 28)

B.     Hubungan Fungsional Antara Rohani dan Jasmani Manusia

Imam al-Ghazali sebagai seorang hujjatul islam dalam berbagai karyanya seperti dikutip oleh Dr. M. Yasir Nasution mengatakan bahwa yang menjadi hakikat manusia itu adalah rohnya. Tubuh atau jasad bukanlah hakikat manusia, karena tubuh adalah sesuatu yang terus berubah-ubah dan tubuh atau jasad tidak membedakan manusia dari makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan.

    Yang dimaksud dengan hakekat disini adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial membedakannya dari yang lainnya.

        Setelah roh berada/bersama jasad manusia Allah memanggil/ menyebutnya dengan nama “An-Nafs”. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surat Asy-Syams ayat 7-8 :


Artinya : “7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. asy-Syams : 7-8)

Panggilan atau sebutan lain terhadap roh yang sudah ditiupkan ke dalam jasad/ jasmani tersebut adalah “qalb”, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 10 yang berbunyi :


Artinya : “dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah : 10)

Sebagaimana nama lain dari An-Nafs, maka Al-Qalb juga merupakan nama dari roh yang merupakan hakikat manusia itu sendiri, seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim : “Ingatlah dalam tubuh manusia ada segumpsl darah, apabila baik maka akan baiklah seluruh tubuh, dan apabila rusak maka rusaklah seluruhnya, itulah dia hati.”

Mengenai hubungan antara roh dan jasmani manusia, kaum sufi mengajarkan bahwa jasmani adalah merupakan tempat bagi jiwa ketika berada di dunia, dalam kapasitasnya sebagai tempat bagi jiwa, hubungan atau fungsi jasmani bagi jiwa selama berada di kehidupan dunia ini adalah sebagai berikut :

1)      Jasmani Merupakan Kendaraan Bagi An-Nafs

Hubungan An-Nafs dengan jasmani adalah seperti pangendara dengan kenderaannya dalm menuju suatu tujuan. Pangendara adalah An-Nafs dan kenderaannya adalah jasmaniah. Jadi bukan sebaliknya. Kehidupan duniawi bagi An-Nafs adalah bersifat sementara dan sebentar saja. Kehidupan dunia hanyalah persinggahan yang menentukan bagi An-Nafs. Bagikan seorang musafir dalam menuju akhirnya yaitu kehidpan akhirat.

Sebelum hidup di dunia, An-Nafs ( roh ) sudah hidup dialam arwah. Dari alam arwah diperjalankan (ditiupkan) ke alam kandungan ibu, selanjutnya dikeluarkan kea lam dunia dan kelak akan diperjalankan lagi ke alam berikutnya yang merupakan tujuan akhir perjalanan tersebut yaitu alam akhirat. Selama hidup di dunia An-Nafs diberikan kendaraan oleh Allah, itulah dia jasmani. Manusia dalam mencapai tujuan akhirnya (kehidupan akhirat) terlebih dahulu mengalami kematian (perpisahan antara unsure jasmani dengan An-Nafs). Dengan kematian itulah An-Nafs memasuki pintu gerbang kehidupan akhir, sedangkan jasmani kembali ke asal kejadiannya semula yaitu tanah.

Sebagai kendaraan bagi An-Nafs dalam perjalanannya, jasmani harus mendapat pehatian, pemeliharaan atau perawatan dengan baik. Jika kendaraan rusak atau tidak sehat maka An-Nafs akan mengalami gangguan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengendara. Karena itulah dalam islam ditekankan perlunya menjaga kesehatan tubuh atau kebahagiaan duni. Seperti dijlaskan dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi :


Artinya : “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Qashash : 77)

2)      Jasmani Merupakan Alat Bagi An-Nafs

Selain berfungsi sebagai kendaraan, fungsi kedua jasmani bagi An-Nafs adalah sebagai alat, sehingga dalam hal ini hubungan an- nafs dengan jasmani adalah bagaikan pengguna alat (An-Nafs) dengan alat yang digunakan (jasmani). Dalam fungsinya sebagai alat, jasmani memiliki 3 peran terhadap An-Nafs. Ketiga peran tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Alat untuk menerima kenikmatan hidup di dunia bagi An-Nafs, seperti  menerima kenikmatan pemandangan yang indah yang di terima melalui indra mata, menerima kenikmatan suara yang merdu melalui alat indra pendengaran dan lain sebagainya.

b.      Alat untuk menerima ujian dan cobaan berupa penderitaan hidup di dunia bagi An-Nafs , seperti rasa lapar, dan haus akibat kurangnya makanan yang diterima indra mulut, derita rasa sakit akibat luka yang terjadi pada indra jasmaniah, atau perut masuk angin, mata masuk pasir dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang menderita adalah An-Nafs, tetapi alat menerima penderitaan tersebut adalah indra jasmaniah.

c.       Alat bagi An-Nafs dalam melakasanakan fungsi kesaksian dan penghambaan diri kepada Zat Penciptanya.

         Sebagai sesuatu yang diciptakan dari Nur Allah, An-Nafs bersifat lembut ( tidak kasar ), juga memiliki kecederungan untuk selalu dapat berhubungan dengan sumber kejadiannya sekalipun dia sudah berada di alam fisika (alam materi). Selain itu,an – Nafs memiliki sifat menghambakan diri dengan penuh ketaatan dan kepada Tuhan kepada Allah sebagai zat pencipta-Nya. An–Nafs juga memiliki sifat untuk selalu mewujudkan rasa kesaksiannya tentang adanya Allah sebagai pencipta, yang memberikan kehidupan,yang memberikan pendengaran, pengelihatan, kemampuan berfikir, berkata–kata, yang memelihara dan memenuhi kebutuhan dari segala kenikmatan hidup serta rezeki yang tiada terhingga dalam kehidupan inilah fitrah kejadian an–Nafs (jiwa) seperti dijelaskan dalam al–Qur’an surat Ar–Rum ayat 30 yang berbunyi :


Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (Q.S. ar-Ruum : 30)

Alat yang harus digunakan oleh an-Nafs (jiwa) dalam mewujudkan atau melaksanakan fitrah bertuhan selama di dunia ini adalah organ jasmaniah, seperti untuk komunikasi dengan Allah atau beribadah, seperti melaksanakan salat, puasa,membayar zakat, menunaikan haji, berdo’a, bersyukur dan amal–amal saleh lainnya.

            Karena itu, demi lancarnya pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs, organ tubuh / jasmaniah harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya, organ jasmani harus dipelihara kesehatannya. Sebab apabila anggota jasmaninyah mengalami gangguan kesehatan, maka hal itu akan mengganggu kelancaran pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs.

a.      Jasmani merupakan ujian bagi an–Nafs

            Kalau an–Nafs memiliki fitrah bertuhan atau bersifat Ilahiyat (ketuhanan) hingga ia selalu ingin (rindu) untuk dapat berkomunikasi langsung dengan Allah yang ghaib. Sebaliknya jasmani yang diciptakan dari tanah atau saripati tanah yang bersifat materi memiliki kecenderungan untuk terikat tunduk dan tergantung pada benda–benda alam. Jasmani juga memiliki sifat seperti makhluk alam materi lainnya seperti : sifat tanah (jumudat), sifat tumbuhan (nafsul nabatat), dan lebih dari itu jasmani juga memiliki sifat kehewanan (nafsul hayawaniyat).

            Karena itu, an–Nafs sebagai hakikat manusia yang seharusnya mengendalikan organ jasmani sebagai kenderaan dan alat untuk mengaktualisasikan fitrah Ilahiyatnya, justru dihadapkan pada tarikan sifat – sifat materi kebendaan yang ada pada jasmani tersebut, sehingga jasmani justru menjadi tantangan dan ujian bagi an-Nafs dalam perjalanan hidupnya di dunia. Dalam posisi seperti ini, an-Nafs yang pada dasarnya cenderung kepada nilai–nilai ketuhanan (Ilahiyat), justru akan lupa pada tuhan, alergi mendengar nama Tuhan dan benci bila mendengar seruan dan ajaran Tuhan. Tetapi apabila an-Nafs mampu mengeluarkan dirinya dari tarikan hawa ini secara bertahap melalui latihan dan upaya pencerahan kerohanian maka pada giliriannya an-Nafs itu dapat kembali seperti posisi kejadiannya semula yang tercipta dari NurNya Allah.

        Seiring dengan tingkat ketaklukan an-nafs dan kemampuannya melepaskan diri dari tarikan hawa jasmani yang bersifat materi keduniawian tersebut, maka umumnya ulama membagi an-nafs itu ke dalam tiga golongan yaitu : nafs amarah, nafs lawwamah dan nafs muthmainnah. Tetapi para kaum sufi mengelompokkannya ke dalam tujuh tingkatan yaitu : 1) Nafs al Amarah Bissu’i, 2) nafs al salwalah, 3) nafs al lawwamah, 4) nafs al Malhamah, 5) nafs al Mutmainnah, 6) nafs al Roidhiah, dan 7) nafs al Mardhiyah.

1)      Nafs al Amarah Bissu’i

           Nafs al-Amarah, maksudnya adalah an-Nafs yang mempunyai kecenderungan terhadap tipe kejasmanian , selalu menyuruh kepada kelezatan syahwat, selalu menarik hati agar menghadap ke arah bawah dimana arah bawah itu merupakan sarang keburukan dan sumber dari prilaku tercela. Nafs inilah yang tunduk dan taat kepada godaan- godaan syaitan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam al-quran surat Yusuf ayat 53 :


Artinya : “dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S. Yusuf : 53

       An-nafs yang pada dasarnya memiliki sifat ilahiyat (ketuhanan) , apabila berada dalam tarikan yang terdalam dari sifat jasmaniah justru akan menjadi pencipta hal-hal yang bersifat material keduniawinyan secara berlebihan (hubbud dunya) , sehinnga lahirlah sifat-sifat seperti : mencintai lawan jenis secara berlebihan (hubbud maal) dan mencintai pangkat, status dan jabatan secara berlebihan pula (hubbud jah), jelasnya lahirlah sifat berlebihan terhadap tiga “  TA” ( Wanita, harta dan tahta ).

            Akibat kecintaan berlebihan terhadap hal-hal di atas sudah terjadi, maka akan mendorong manusia itu untuk melakukan kejahatan-kejahatan (amara bissu’i). Kecintaan kepada lawan jenis berlebihan, akan membuat seseorang mengumbar nafsu seksnya, penyimpangan seksual. Semangat hidup hedonis melanda keperibadiannya. Dan seterusnya apabila seseorang dihinggapi penyakit cinta pangkat dan jabatan berlebihan, akan membuat seseorang menjadi sangat ambisius. Keambisiusannya itulah membuat dia berbuat apa saja untuk memperoleh pangkat/jabatan tersebut.

2)      Nafs al-Syalwalah

            Nama lain dari an-Nafs apabila berada dalam tarikan terkuat/terdalam dari sifat-sifat jasmaniah adalah an-Nafsas-syalwalah. Artinya adalah diri yang merasa bangga apabila sudah selesai (berhasil) melakukan prerbuatan jahat, bangga apabila berhasil menipu  atau merampok atau membodohi orang lain, merasa bangga menjadi seorang preman, merasa bangga menjadi seorang pecandu narkoba dan lain sebagainya.

3)      Nafs al-Lawwamah

            Nafs al-Lawwamah adalah jiwa yang disinari oleh cahaya hati, disamping juga masih memperhatikan keburukan. Setiap kali jiwa al-Lawwamah berbuat keburukan sebagai akibat dari kegelapan hatinya, maka saat itu juga ia meminta ampun dan bertaubat. Nafs al-Lawwamah ini kadang-kadang melahirkan kejahatan dan kadang-kadang kebaikan.

4)      Nafs Al-Malhamah

            An-Nafsul Malhamah artinya adalah jiwa yang sudah memperoleh ilham, ajaran atau ilmu tentang mana jalan kehidupan yang baik (taqwa) dan jalan kehidupan kejahatan atau dosa (fujur). Terserah jiwa memilih jalan yang mana, atau dengan kata lain jiwa bisa kembali pada an-Nafsal-amara bissu’i atau an-Nafsal-syalwalah.

5)      Nafs Al-Mutmainnah

            Nafs ini adalah jiwa yang telah disinari oleh cahaya hati sehingga mampu menghilangkan sifat-sifat tercela dan akhirnya dia berperilaku terpuji dan sebagai hasilnya akan merasakan kententraman.

6)      Nafs al-Rodhiyah

            Sebagai kelanjutan dari jiwa dan hati yang tentram karena mengingat Allah swt, maka jiwa manusia akan semakin terdorong untuk lebih ikhlas melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya, lebih ikhlas dan ridha menerima semua ketentuan allah swt, selalu berprasangka baik terhadap apa yang datang darinya. Keadaan jiwa yang seperti ini disebut dengan Nafs al-Rodhiyah.

7)      Nafs al-Mardhiyyah

Terhadap jiwa yang yang selalu ingat kepada Allah swt, berprasangka baik terhadap segala ketentuan dan taqdir Allah, ikhlas melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, tidak riya melainkan beribadah hanya ingin memperoleh ridho-Nya, maka jiwa seperti ini sesuai dengan janji Allah swt. bahwa dia kan meridhionya. Jiwa yang diridhoi Allah itulah yang disebut dengan an-Nafsal-Mardiyah. (sesuai dengan Q.S. al-Fajr : 27-28)


C.    Tujuan Penciptaan Manusia Sebagai Makhluk yang Paling Sempurna.

1.      Manusia Sebagai Saksi Allah


Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (Q.S. al-Ahzab : 72)

            Ayat diatas dengan jelas menerangkan bahwa fungsi manusia dalam kehidupannya di dunia ini adalah sebagai pemegang amanah dari Allah. Isi dari amanah tersebut adalah bahwa manusia adalah sebagai saksi yang harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah (tauhid) sebagai Rabbul ‘Alamin (pencipta, pengatur, dan pemelihara alam semesta dengan segala isinya) atau tuhid Rububiyyah. Manusia harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah segala Ilah (Tuhan) yang harus disucikan (tasbih), dipuji (tahmid), dibersihkan dari kesamaan dengan makhluk (tahlil) dan dibesarkan namanya (takbir) baik di hati, di lidah maupun dalam perbuatan atau tauhid Uluhiyyah. Dan juga harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah sebagai ma’bud (Zat yang harus disembah) atau tauhid Ubudiyyah.

            Fungsi amanah sebagai saksi ini kelak akan dipertanggungjawabkan manusia di akhirat. Allah berfirman :


Artinya : “dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.”

2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah


Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."” (Q.S. al-Baqarah : 30)

            Yang dimaksud dengan khalifah oleh kaum Sufi dalam ayat tersebut adalah manusia (Adam), sedangkan khalifah itu dalam konteks ini diartikan sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan perintah-Nya kepada manusia dan alam semesta. Sebagai khalifah manusia dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya berkewajiban memkamurkan dengan cara memelihara dan melestarikannya. Manusia juga wajib mengolah dan merekayasa alam semesta agar bermanfaat bagi kemashlahatan manusia dan makhluk lainnya. Wajib juga memelihara keseimbangan ekosistem lingkungan dan alam. Dan tidak boleh melakukan pengrusakan terhadap alam, pengrusakan terhadap alam merupakan tindakan yang menyimpang dari khalifah.

            Sekalipun memiliki kelebihan dan kesempurnaan, manusia adalah sama dengan makhluk-makhluk lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, Allah berfirman :


Artinya : “dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.S. al-An’am : 38)

            Manusia juga adalah hamba Allah, tujuan penciptaannya tidak lain adalah untuk mengabdi kepada-Nya (sesuai dengan Q.S. adz-Dzariyat : 56)

            Manusia dalam funsi kekhalifahannya di muka bumi, aktivitasnya bukanlah “bebas nilai”. Manusia dengan segala perbuatannya harus bertanggung jawab kepada Allah sebagai Penciptanya dan untuk itu manusia dengan segala perbuatannya akan dievaluasi seperti terdapat dalam firman Allah :


Artinya : “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (Q.S. al-Mulk : 2)

            Dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas tugas kekhalifahan, inilah yang dimaksud hadits Rasul yang berbunyi : “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, karena itu kamu akan dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinan kamu.”

3.      Manusia Sebagai Hamba


Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat : 56)

            Menghambakan diri (beribadah) kepada Allah, sekalipun tata cara dan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh Allah, pada hakikatnya bukanlah kewajiban atau beban bagi manusia. Penghambaan ini (peribadatan) tersebut pada hakikatnya adalah fitrah yang menjadi kebutuhan an-Nafs (hakikat diri manusia itu sendiri). Menurut ajaran Islam, setiap aktivitas (selain ibadah mahdah) akan menjadi penghambaan diri kepada Allah (bernilai ibadah bagi Allah) apabila aktivitas tersebut : dilaksanakan dengan ikhlas (murni) karena Allah dan untuk mrmperoleh ridho Allah, bukan untuk mengharapkan yang lain-lain; dan dilaksanakan dengan benar sesuai dengan syari’at Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Upaya pemhambaan didri sperti ini dalam syari’at dinamakan denga ibadah ghairu mahdah.

D.    Arti Kehidupan Dunia Bagi Sufi

Kehidupan dunia hanya sementara. Manusia akan mengalami mati dan apabila ajal kematian datang manusia tidak dapat menundanya walau satu detikpun. Firman Allah :


Artinya : “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. al-A’raaf : 34)

            Hidup di dunia hanya sementara, yang lebih abadi hanyalah kehidupan di akhirat. Firman Allah :


Artinya : “sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”

            Selain dunia ini berfungsi sebagai sarana untuk mangabdi pD Allah swt, ternyata dunia ini dengan alam materinya bagi kaum sufi berfungsi juga sebagai ujian bagi manusia. Jiwa manusia diberi potensi untuk takwa mengigat Allah dan potensi menentang Allah (sesuai Q.S. Asy-Syams : 7-10)

                Ketertarikan hati manusia kepada dunia membuatnya menjadi lalai akan fungsi dan tugasnya sebagai hamba Allah yang cebderung menjadikan dunia sebagai tujuan hidup. Padahal kehidupan dunia tidak lain hanyalah sebuah permainan perhiasan yang penuh dengan tipu daya. Firman Allah :


Artinya : “dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S. al-Ankabut : 64)

            Allah mengingatkan manusia dengan firman-Nya :


Artinya : “1. demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. al-‘Ashr : 1-3)

            Berhati-hatilah manusia supaya jangan tertipu oleh godaan syaitan, yang selalu memperdayakan manusia dari segala segi. Firman Allah :


Artinya : “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (Q.S. Luqman : 33)

            Untuk obat penangkis penyakit gila-gilaan (segala gila), hanyalah iman dan takwa kepada Allah. Apabila dua macam ini bersemayam dalam diri manusia, menjadi perhiasan hidupnya yang disertai dengan budi pekerti yang murni, insya Allah manusia akan terhindar dari godaan syetan.

            Manusia masih dalam perjalanan, dan yang dituju adalah kampong halaman yang kekal, yaitu kampong akhirat. Maka tiap-tiap tahun yang telah dilalui olehnya laksana satu pemberhentian. Tiap bulan yang telah lewat, adalah selaku istirahat dan tiap pecan yang dilewatinya selaku suatu kampung yang ditemuinya dalam perjalanannya, setiap hari selaku suatau hal yang ditempuhnya dan setiap detik yang dinafaskannya selaku setiap langkah yang dijalani dan setiap nafas yang dihembuskannya akan mendekatkan dirinya ke pintu akhirat.









DAFTAR PUSTAKA

Miswar dkk. 2015. Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami.

Medan : Perdana Pubilshing.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar