Senin, 16 Mei 2016

MUNASABAH AL-QUR'AN DAN URGENSI MEMPELAJARINYA


MUNASABAH AL-QUR'AN DAN URGENSI MEMPELAJARINYA
 
 

A.  Pengertian Munasabah

Munasabah berasal dari kata  ناَسَبَ، يُنَاسِبُ، مُنَاسَبَة yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat.[1] Kesamaan kata munasabah dapat mengacu pada tiga kata kunci yaitu: al-muqarabat (berdekatan), al-musyakalat (berkemiripan), al-irtibat (bertalian).[2] Secara istilah, munasabah berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an.[3] Lebih rincinya dapat dijelaskan bahwa munasabah adalah usaha pemikiran dalam menggali rahasia hubungan antara ayat atau surat dalam al-Qur’an ang dapat diterima oleh akal.[4] Hadi Abu Bakar Ibnu Araby mengemukakan, munasabah adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang mempunyai hubungan antara ayat yang satu dengan ayat lainnya, sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur.
 

Sebagian ulama mengemukakan definisi munasabah sebagai berikut :

1.      Menurut Al-Zarkasyi (1998: 61) munasabah adalah

المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى  الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول

Artinya:”Munasabah adalah satu urusan yang dapat dipahami, apabila ia dikemukakan kepada akal, niscaya akal akan menerimanya.”

2.      Menurut Al-Qaththan (1973: 97) munasabah adalah

وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.


Artinya:”Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan didalam satu ayat, antara ayat pada beberaapa ayat atau antara surat (didalam Al-Qur’an).”


B. Sejarah Ilmu Munasabah

        Sebenarnya tidak diketahui secara pasti tahun berapa tepatnya lahir ilmu Munasabah ini, namun dari literatur yan ditemukan, para ahli cenderung berpendapat bahwa kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Al-Imam Abu Bakr ‘Abd Allah bin Muhammad al-Naysaburi (w. 324 H) di kota Baghdad (as-Suyuthi, 1995: 243). Namun karya besarnya itu dalam tafsir sulit ditemui. Perhatiannya pada ilmu ini tampak ketika ia mempertanyakan alasan dan rahasia penempatan ayat dan surah secara kritis terhadap ulama Baghdad pada masa itu.

        Upayanya menjadikan ia dikenal sebagai pelopor munasabah maka ia dinobatkan sebagai peletak dasar ilmu munasabah, sebagaimana diakui oleh Syaihk Abu al-Hasan al-Ayahrabanni seperti dikutip al-Ma’i. Hal ini dikuatkan dari pernyataan al-Naysaburi setiap kali ia dibacakan Al-Qur’an, “Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini, dan apa rahasia diletakkan surat ini di samping surat ini?” (Chirzin, 2003: 51).[5]

      

C.  Macam-Macam Munasabah

1.      Munasabah antar kata dengan kata dalam satu ayat

Dalam surah Al-Hadid ayat 4 :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٤)

Artinya:” Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya.”

Dari ayat diatas terlihat bahwa kata يَلِجُ (masuk) dihubungkan dengan huruf ‘athaf waw dengan kata يَخْرُجُ (keluar). Disini jelas adanya hubungan perlawanan(munasabah attadhadat). Demikian juga kata يَنْزِلُ (turun) dan kata يَعْرُجُ (naik).


2.      Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah yang sama

Dalam surah Al-Fatiha ayat 6

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(٦)

Artinya:” Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Ayat ini bermunasabah dengan ayat berikutnya yakni ayat 7 surah al-fatiha


صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ(٧)

Artinya:” yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan yang dimurkai dan bukan pula jalan yang sesat.”

Munasabah yang dimaksud dalam kedua ayat diatas adalah bahwa ayat 6 itu sesuai dan berhubungan (bermunasabah) dengan ayat 7, karena ayat 7 sebagai penjelas dari ayat 6, yakni ketika diminta tunjukilah jalan yang lurus pada ayat 6, maka dijawab oleh ayat 7 bahwa jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.


3.      Munasabah antar ayat dengan ayat pada surah yang berbeda

Dalam surah Al-fatiha ayat 6 dengan surah al-baqarah ayat 2

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم(٦)

Artinya:”Tunjukilah kami jalan yang lurus”.


ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ(٢)

Artinya:” kitab (al-qur-an) itu tidak ada keraguan padanya.”

Menurut para ulama:”manusia memohon hidayah (petunjuk) kepada Allah akan jalan yang lurus dan benar(surah al-fatiha ayat 6), maka pada ayat 2 surah Al-Baqarah dijelaskan kepada mereka bahwa jalan yang lurus dan benar yang mereka minta itu ada dalam” kitab itu”(ذَلِكَ الْكِتَاب) yakni kitab al-Qur’an.



4.      Munasabah antara ayat pada akhir surah dengan awal surah berikutnya

      Dalam surah Al-Waqiah ayat 96

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ ﴿٩٦﴾

Artinya:” Maka bertasbilah dengan(menyebut) nama Tuhan mu yang maha besar.”

Jika diperhatikan, maka akan dijumpai munasabah dengan awal surah berikutnya, meskipun tidak mudah untuk mencarinya. Umpamanya pada permulaan surah Al-Hadid ayat 1 dimulai dengan tasbih سَبَّحَ.

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١) 

Artinya:” semua yang berada dilangit dan dibumi bertasbih kepada Allah”.

Atau pada contoh lain yaitu pada akhir surah al-Fatiha ayat 7:

 صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾

Artinya:”(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

            Ayat ini bermunasabah dengan awal surah berikutnya :

الم ﴿١﴾ ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾

Artinya:”Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”(QS.Al-Baqarah:2)

            Munasabah ayat tersebut terletak pada adanya jawaban atas pertanyaan”jalan yang telah diberi nikmat…dsb. itu adanya haya pada kitab Al-Qur’an.


5.      Munasabah antara nama surah dengan isi kandungannya

Nama surah Al-Qur’an selalu menjadi tema pembicaraan dari isi kandungannya. Umpamanya nama surah Al-Baqarah(sapi betina) sangat jelas tercermin dari isi kandungannya khususnya pada ayat 67-71 berikut :

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُواْ بَقَرَةً قَالُواْ أَتَتَّخِذُنَا هُزُواً قَالَ أَعُوذُ بِاللّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ ﴿٦٧﴾ قَالُواْ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لّنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لاَّ فَارِضٌ وَلاَ بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُواْ مَا تُؤْمَرونَ ﴿٦٨﴾ قَالُواْ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاء فَاقِـعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ ﴿٦٩﴾ قَالُواْ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ البَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِن شَاء اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ ﴿٧٠﴾ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لاَّ ذَلُولٌ تُثِيرُ الأَرْضَ وَلاَ تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لاَّ شِيَةَ فِيهَا قَالُواْ الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُو                                               ﴿٧١﴾ يَفْعَلُونَ  

Artinya:”(67)Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".(68) Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".(69) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya."(70) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)."(71) Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.”

            Munasabah pada ayat tersebut adalah adanya hubungan antara judul surah sapi betina (al-baqarah) dengan adanya perintah Allah kepada kaum Nabi Musa untuk menyembelih sapi betina sebagaimana tercermin pada ayat ke-67 diatas dan ayat berikutnya. Disamping itu dalam surah al-baqarah ini juga mengandung inti pembicara tentang kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain tujuan surah ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian.


6.      Munasabah antara awal dengan akhir surah yang sama

Jenis munasabah ini terdapat dalam surah al-Qashshah yang diawali dengan penjelasan tentang perjuangan Nabi Musa ketika menghadapi kekejaman raja Fir’aun. Maka dengan pertolongan dari Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir setelah mengalami berbagai kekerasan yang dilakukan raja Fir’aun. Diawal surah ini juga dijelaskan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang yang kafir. Sedangkan pada akhir surah Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi kesulitan dalam perjuangannya bahwa Nabi akan memperoleh kemenangan.

Inti munasabah disini terletak dari adanya kesamaan kondisi yang dihadapi oleh Nabi Musa As dan Nabi Muhammad SAW pada awal dan akhir perjuangannya.


7.      Munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat berikutnya

Dalam munasabah jenis ini dapat dilihat kelompok ayat pada surah al-Baqarah ayat 1 sampai 5, disini Allah menjelaskan kelompok ayat tentang kebenaran dan fungsi al-Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa serta cirri-cirinya. Inilah kelompok ayat tersebut:

الم ﴿١﴾ ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ والَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ﴿٤﴾ أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥﴾

Artinya:”  Alif Laam Miim.  Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS.Al-Baqarah:1-5).

            Pada kelompok ayat berikutnya yakni pada ayat 6 dan 7 setelah menjelaskan tentang kondisi dan cirri-ciri orang taqwa, maka Allah SWT, menggambarkan tentang keadaan orang kafir serta sifat-sifatnya. Berikut ini ayatnya:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿٦﴾ خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ ﴿٧﴾

Artinya:”Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”(QS.Al-Baqarah:6 dan 7).

            Pada kelompok ayat selanjutnya yakni kelompok ayat 8-20 Allah menjelaskan pula keadaan dan sifat-sifat orang munafik secara panjang lebar :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ ﴿٨﴾ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ ﴿٩﴾ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ ﴿١٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ﴿١١﴾ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ ﴿١٢﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُواْ أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاء وَلَـكِن لاَّ يَعْلَمُونَ ﴿١٣﴾ وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ ﴿١٤﴾ اللّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ ﴿١٥﴾ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرُوُاْ الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُواْ مُهْتَدِينَ ﴿١٦﴾ مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ ﴿١٧﴾ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ ﴿١٨﴾ أَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصْابِعَهُمْ فِي آذَانِهِم مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ واللّهُ مُحِيطٌ بِالْكافِرِينَ ﴿١٩﴾ يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاء لَهُم مَّشَوْاْ فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُواْ وَلَوْ شَاء اللّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّه عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿٢٠﴾

Artinya:” 8.Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.9. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.10. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.11. Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."12. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.13. Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu.14. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok".15. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.16. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.17. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.18. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).19. atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. 20. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”

            Jadi jelaslah dari beberapa ayat diatas antara kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya secara berurutan terdapat munasabah tentang tiga macam tipe kualitas manusia yakni orang taqwa, orang kafir, orang munafik.[6]




D.  Urgensi dan Manfaat Ilmu Munasabah

Munasabah di dalam memahami Al-Qur’an sangatlah penting, karena dengan dikuasainya ilmu ini maka akan dapat merasakan secara mendalam bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dalam untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat, dan akurat sehingga sedikitpun tak ada cacat. Selain itu, dengan munasabah dapat memberikan gambaran yang semakin terang bahwa Al-Qur’an itu betul-betul kalam Allah, tidak hanya teksnya, melainkan susunan dan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya pun atas petujuk-Nya.[7]

Sebagaimana Asbabun Nuzul, Munasabah dapat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad Abdullah Darraz berkata : ”Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surah-surah itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surah semestinya dia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan permasalahannya.”[8]

Ada dua urgensi munasabah yaitu:

1.      Dari sisi balaghah, hubungan antara ayat dengan ayat menjadi keutuhan yang indah dalam tata bahasa Al-Qur’an.

2.      Memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surah.[9]

Dengan mempelajari munasabah terdapat beberapa manfaat antara lain:

1.      Dapat membantah anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan korelasi antara satu bagian ayat dengan bagian ayat yang lainnya, padahal ternyata rangkaian ayat-ayatnya memiliki keterkaitan yang menakjubkan. Contohnya firman Allah SWT berikut:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوْاْ الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُواْ الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٨٩﴾

      Artinya:”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”(QS.Al-Baqarah:189)

      Membaca ayat ini orang akan bertanya-tanya ”apakah korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan mendatangi rumah?. Ketika menjelaskan munasabah kedua ayat ini Az-Zarkasyi (1957: 41) mengatakan : “sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikan sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan kebaikan.” Dari sini dapat dipahami bahwa dari satu ayat tersebut dapat menjawab dua pertanyaan sahabat baik tentang bulan pelaksanaan ibadah haji maupun tentang orang taqwa.

2.      Dapat menolak pandangan akan adanya ketidakteraturan dalam penyusunan al-Qur’an, misalnya mengapa surah al-Fatihah diletakkan pada awal surah dan bukan surah al-A’laq,padahal secara historis awal surah inilah yang terlebih dahulu diturunkan. Sebaliknya mengapa surah an-Naas diletakkan pada akhir surah, bukan surah al-Maidah ayat 3, padahal secara hitoris surat inilah yang terakhir diturunkan.

3.      Dapat membantu untuk memudahkan pemahaman al-Qur’an baik antara ayat dengan ayat maupun surah dengan surah dalam al-Qur’an.(Chirzin,1998: 58).

4.      Dapat menggantikan sebab nuzulnya apabila sebab-sebab tersebut tidak disebut dalam bentuk nyata. Hal ini dikerenakan keterpautan antara satu ayat dengan ayat dapat menggambarkan sesuatu yang kita maksudkan dan tidak perlu lagi mengetahui sejarah nuzulnya satu persatu.

5.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa (mutu dan tingkat balaghah al-Qur’an) serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna al-Qur’an itu sendiri.[10]

Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, manfaat mempelajari munasabah, antara lain sebagai berikut :

1.      Menghindari kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an, sebab munculnya kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah karena tidak mengetahui munasabah.

2.       Intensifikasi pengertian Al-Qur’an.[11]


      Mengingat peran penting munasabah sebagaimana digambarkan di atas, maka masuk akal bila pakar ulama tafsir seperti Ibn al-‘Arabi menyatakan bahwa kajian munasabah adalah suatu ilmu yang besar dan mulia, hanya orang-orang tertentu yang dapat menggalinya. Al-Zarkasyi juga mengakui pentingnya ilmu ini dengan menyatakan secara tegas bahwa munasabah adalah ilmu yang amat mulia yang dapat memelihara dan meluruskan pola pikir serta mengenal kadar kemampuan seseorang dalam berbicara.[12]



[1] Rahmat Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, hlm. 37

[2] Nashiruddin Baidan. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 185

[3] Quraish Shihab, dkk. 1999. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Firdaus, hlm. 75

[4] Suhadi. 2011. Ulumul Qur’an. Kudus:  Nora Media Enterprise, hlm. 84

[5] Syamsu,2015,Studi Ulumul Qur’an. Medan. Perdana Publishing, hlm 61-62

[6] Syamsu,2015,Studi Ulumul Qur’an. Medan. Perdana Publishing, hlm 64-70

[7] Nashiruddin Baidan. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta :Pustaka Pelajar. hlm 199

[8] Rosihan Anwar.2008.Ulum Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, hal  96

[9] Asnil Aidah.2009. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung: Citapustaka Media Perintis, hlm 57

[10] Syamsu,2015,Studi Ulumul Qur’an. Medan. Perdana Publishing, hlm 71-72

[11] Rahmat Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, hlm 36

[12] Nashiruddin Baidan. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hlm 200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar