Minggu, 15 Mei 2016

FILSAFAT ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM

FILSAFAT ILMU DALAM PANDANGAN ISLAM


A.    Pengertian Filsafat Ilmu

Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani : Philosophia, yang terdiri atas dua kata : philos (cinta ) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (‘hikmah’, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[1] 
 
 

Sedang menurut al-Farabi , filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam, wujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.[2] Pada dasarnya filsafat merupakan sebuah cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, yaitu suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Dan secara terminologi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab terdalam, tercapai dengan budi murni.[3] Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam sampai pada hakikatnya dengan menggunakan akal atau pikiran.[4]

Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab yaitu ‘alam yang berarti pengetahuan. Pemakaian kata itu dalam bahasa Indonesia diekuivalenkan dengan istilah “science”. Science berasal dari bahasa Latin, yaitu scio dan scire yang berarti juga pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[5]

Untuk penegertian filsafat ilmu, maka filsafat ilmu secara umum dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai suatu disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara itu, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Secara sederhana, filsafat dapat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan.[6] Sedangkan dalam buku lain dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah pemikiran lebih lanjut tentang ilmu itu sendiri.[7]

Mengenai landasan penelaahan ilmu, terdiri dari ontologi ilmu, epistimologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu, landasan epistimologi ilmu adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Dan terakhir, landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.[8]

Dari uraian diatas, dapat dikatakanlah bahwa arti filsafat ilmu adalah berpikir secara ilmiah dan  mendalam khusus tentang ilmu (tersebut) untuk memperoleh suatu kebenaran tentang hakikat ilmu tersebut yang  dapat dipertanggungjawabkan. Dan memiliki tiga landasan penelaahan ilmu, yaitu landasan ontologis, epistimologi, dan aksiologi.

B.     Filsafat Ilmu Menurut Pandangan Islam

Al-Qur’an adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, lahir dan batin.

Memang Al-Qur’an pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namun diantara isinya mendorong umat Islam supaya banyak berpikir. Hal ini dimaksudkan agar mereka melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya Allah swt. Pencipta alam semesta dan sebab dari segala kejadian di alam ini.

Telah dikemukakan bahwa Al-Qur’an merupakan pendorong utama lahirnya pemikiran filsafat dalam Islam. Pengertian yang dikandung filasafat sejalan dengan isi Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pemeluknya agar banyak berpikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai al-Qur’an dalam menggambarkan kegiatan berpikir ialah:

1.      Kata-kata berasala dari ‘aqala (عقل) mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir, terdapat dalam lebih dari 45 ayat. Di antaranya surat al-Baqarah (2) : 242, al-Anfal (8) : 22 dan an-Nahl (16) : 11-12.

2.      Kata-kata yang berasal dari nazhara (نظر) melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan merenungkan atau menalar, terdapat dalam Al-Qur’an lebih dari 30 ayat. Di antaranya surat Qaf (50) : 6-7, ath-Thaariq (86) : 5-7, dan al-Ghaasiyah (88) : 17-20.

3.      Kata yang berasal dari tadabbara (تدبر) mengandung arti merenungkan, terdapat dalam beberapa ayat, seperti surat Shad (38) : 29 dan Muhammad (47) : 24

4.      Kata-kata yang berasal dari tafakkara (تفكر) yang berarti berpikir, terdapat 16 ayat dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam surat an-Nahl (16) : 68-69 dan al-Jaatsiyah (45) : 12-13.

5.      Kata-kata yang berasal dari faqiha (فقه) yang berarti mengerti dan paham, terdapat 16 ayat dalam Al-Qur’an. Di antaranya surat al-Isra’(17) : 44, al-An’am (6) : 97-98 dan at-Taubah (9) : 122.

6.      Kata-kata yang berasal dari tazakkara (تذكر ) yang berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung peerbuatan berpikir, terdapat dalam lebih dari 44 ayat. Di antanranya surat an-Nahl (16) : 17, az-Zumar (39) : 9, dan adz-Dzaariyat (51) : 47-49.[9]

7.      Kata-kata yang berasal dari fahima (فهم) yang berarti memahami dalam bentuk fahhama; di antaranya surat al-Anbiyaa’ (21) : 78-79.

8.      Ulu al-baab (اولوا الالباب) yang berarti orang berpikiran, di antaranya terdapat dalam surat Yusuf (12) : 111 dan surat Al-Imraan (3) : 109; ulu al-‘ilm (اوالوا العلم) yang berarti orang berilmu, di antaranya terdapat dalam surat Ali-Imraan (3) : 18; ulu al-abshaar (اولوا الابصار) yang berarti orang yang mempunyai pandangan, di antaranya terdapat dalam surat an-Nuur (24) : 44; ulu al-Nuha (اولوا النهى), yang berarti orang bijaksana, di antaranya terdapat dalam surat al-Anfaal (8) : 22 dan an-Nahl (16) : 11-12; dan juga kata ayat (اية) sendiri erat hubungannya dengan perbuatan berpikir, yang arti aslinya adalah tanda.

Perintah berpikir terdapat pula dalam ayat kauniyah. Ayat-ayat ini menggambarkan kejadian di alam semesta. Semua kejadian tersebut yang oleh al-Qur’an diperintahkan umat Islam untuk memikirkan dan merenungkan.

Dorongan terhadap akal dan pemikiran filsafat juga datang dari hadits sebagai sumber kedua dari ajaran Islam. Di antara hadits yang memberikan penghargaan tinggi pada akal adalah (artinya) : agama adalah penggunaan akal, tiada beragama bagi orang yang tidak berakal.

Salah satu dari hadits Qudsi yang menggambarkan betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam dapat dilihat dalam hadits dibawah ini :

فبعز تى وجلا لي و ما خلقت خلقا اعز علي منك فبك اخذ و بك اعطى و بك اثبت و بك اعا قب

“Demi kekuasaan dan keagungan- Ku tidaklah Kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau (akal). Karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan siksa.”[10]

                        Jelaslah bahwa kata-kata yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas dan juga ayat-ayat lainnya serta hadits mengandung anjuran dan mendorong umat Islam supaya banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Akal dalam Islam menduduki posisis tinggi dan terhormat. Oleh karena itu, berpikir dan menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Islam. Jika filsafat dikatakan berpikir secara radikal, bahkan sampai ke dasar segala dasar, maka pengertian ini sejalan dengan kandungan isi al-Qur’an yang mendorong pemeluknya untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga ia sampai ke dasar segala dasar, yakni Allah swt., Pencipta alam semesta.[11]

Dan inilah beberapa ayat yang mengandung kata-kata pendorong untuk berfilsafat, disertai dengan tafsirnya :

 

Artinya : “Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Maaidah: 100)

            Dalam tafsir al-Azhar, karangan Hamka, menerangkan bahwa kalau Allah menyiksa, sangatlah pedih siksaan-Nya. Yang disiksa ialah orang yang memilih jalan yang buruk dan kelakuan yang buruk. Tetapi Allah-pun Pengampun dan Penyayang. Yaitu kepada orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang baik. Akal yang terdidik oleh petunjuk Agama dapatlah membedakan buruk dan baik. Akal dapat menilai mana yang mudharat dan mana yang manfaat. Mana yang haram dan mana yang halal. Mana yang adil dan mana yang yang zhalim. Mana yang kebodohan dan mana yang ilmu-pengetahuan. Mana yang merusak dan mana yang memperbaiki.[12] Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa akal yang diberikan oleh-Nya haruslah digunakan sebaik-baiknya dalam segala sesuatu yang baik.

 

Artinya : “Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S. al-Jaatsiyah : 5)

            Dalam Tafsir Al-Maraghi, maksud dari ayat ini adalah apabila kamu memperhatikan hikmah-hikmah yang tersebut di langit dan bumi, maka kamu akan beriman tentang ke-Esa-an pencipta dan kekuasaan-Nya. Dan apabila kamu bertambah ilmu pengetahuan, maka bertambah pula kemantapanmu dan kepahamanmu, sehingga kamu menjadi orang-orang yang yakin terhadap ke-Esa-an dan kekuasaan Allah itu. Karena keyakinan itu terjadi berkat banyaknya dalil-dalil. Dan apabila kamu telah yakin tentang keindahan alam semesta ini, kebagusan aturan-Nya, maka kamu tergolong orang-orang yang mempunyai akal matang dan pikiran yang dapat menembus rahasia-rahasia alam semesta ini dengan bikinan(buatan)-Nya yang unik, sehingga kau dapat mengambil manfaat dan kandungannya dan dapat menundukkan kemanfaatan-kemanfaatan dalam kehidupan yang penuh dengan kebutuhan-kebutuhan. [13]



Artinya : “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Q.S. al-Baqarah : 44)

            Dalam Tafsir al-Maraghi, penjelasan mengenai lafal afalaa ta’qiluun; apakah kalian tidak mempunyai akal lagi sehingga kalian tidak bisa dikendalikan di dalam melakukan perbuatan yang mengundang bahaya? Sebab, orang yang mempunyai akal – sekalipun tingkat kecerdasannya tidak seberapa – ia takkan mengaku dirinya telah menguasai atau mempunyai ilmu Kitab secara sempurna, kemudian ia menyeru kepada umat manusia untuk mengikuti hidayah dan menjelaskan kepada mereka bahwa kebahagiaan akan selalu bersamanya selama ia mengikuti petunjuk Al-Qur’an, tetapi ia tidak mengamalkan dan tidak berpegang pada apa yang ia perintahkan kepada orang lain, di samping tidak meninggalkan apa yang mereka yakini sebagai larangan.[14]

Sedang untuk orang yang memiliki ilmu, Allah swt. berfirman : 


Artinya : “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah :11)

     Seperti yang diketahui bahwa filsafat ilmu merupakan berpikir lebih dalam mengenai ilmu itu sendiri, dan jika seseorang yang telah berfilsafat dalam keilmuan, maka ia adalah orang yang menggunakan akalnya dengan baik demi mnambah ilmu. Dan barangsiapa yang berilmu maka akan ditinggikan derajatnya beberapa derajat, itu merupakan imbalan dari Allah atas orang-orang yang mau mencari ilmu. Dan apa buktinya kita manusia diperintahkan untuk menuntut ilmu, jika dilihat dalam al-Qur’an, seperti yang diketahui bersama bahwasanya, kita manusia disuruh untuk membaca (seperti wahyu yang kali pertama diturunkan), dan membaca merupakan jendela ilmu, Firman Allah swt.:


Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,”

Dalam hadits, untuk perintah menuntut ilmu dapat dilihat dalam hadits yang berbunyi :

“Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina , karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.’”(H.R. Baihaqi).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “” طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ )القرطبي،(23 : 2003

Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim”. (Al-Qurthubi, 2003: 23)[15]

            Namun, dari sekian banyak ulama Islam, ada yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat Islam (pemikiran filsafat yang berdasarkan ajaran Islam), tetapi ada juga yang menyetujuinya. Ulama yang berkeberatan terhadap pemikiran filsafat (golongan salaf) berpendapat bahwa : adanya pemikiran filsafat yang dianggapnya sebagai bid’ah dan menyesatkan.[16]

Alasannya adalah karena berfilsafat adalah berpikir, dengan kata lain akal lebih dikedepankan, dan otomatis mengedepankan akal daripada al-Qur’an dan hadits.  Padahal kita diperintahkan untuk mendahulukan Allah swt. dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah swt. berfirman : [17]


 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al-Hujurat : 1)

            Dapat disimpulkan bahwasanya, filsafat ilmu dalam pandangan Islam atau digunakannya filsafat dalam Islam, ada dua pandangan, ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Pendapat yang menyatakan setuju, alasannya adalah karena manusia mempunyai akal dan dengan akalnya manusia diminta untuk berpikir (filsafat) tentang apapun yang terjadi di muka bumi untuk menambah kenyakinan akan kekuasaan-Nya (dalam al-Qur’an surah al-Jaatsiyah ayat 5). Sedangkan pendapat yang tidak setuju menyatakan alasannya adalah bahwa dalam filsafat yang dikedepankan adalah akal, dan pasti menyebabkan meninggalkan al-Qur’an dan hadits, karena dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 1, kita disuruh untuk mendahulukan Allah swt. dan rasul-Nya (Al-Qur’an dan Hadits).

Dan untuk penyusun sendiri, lebih kepada setuju atas digunakannya filsafat. Mengapa?... karena sesuai dengan al-Qur’an yang di dalamnya banyak terdapat kata “berakal”, dan “berpikir” dan lainnya yang befungsi sebagai pendorong untuk berfilsafat; akal merupakan pemberian Allah swt. yang harus dipergunakan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin, sebagai bentuk syukur atas diberikannya akal tadi, namun tetap harus dibatasi dengan al-Qur’an dan hadits, agar penggunaan akal tetap pada jalan yang benar; tidak menyalahi al-Qur’an dan hadits.

C.    Pandangan Para Filsuf Muslim  

1.      Ilmu Jiwa (Psikologi) Menurut Ibnu Sina dan Al-Farabi

a.       Masalah Jiwa dalam Dunia Islam

Agama dan syari’at menyeru kepada jiwa sebelum menyeru kepada tubuh. Ia lebih banyak berorientasi kepada ruh daripada kepada tubuh. Pahala dan siksa serta petanggungjawaban moral dan pertanggungjawaban keagamaan secara umum mengajak untuk memikirkan ruh, keabadian, dan kesudahannya setelah berpisah dari tubuh.[18]

Tak seorang filosofpun yang tidak menyumbangkan pikiran dan tidak mengajukan pemecahannya. Bahkan sejarah jiwa merupakan inti sari sejarah filsafat secara keseluruhan. Islam yang datang untuk membangunkan jiwa dari tidur tidak mungkin mengacuhkan atau menutup mata terhadap persoalan jiwa ini. Islam sebagai agama yang menyeru untuk membersihkan dan mensucikan jiwa tidak mungkin pura-pura tidak tahu atau mengingkarinya. Islam secara singkat merupakan agama dan akidah sebelum menjadi budaya dan kultur. Oleh karena itu, Islam menyeru kepada jiwa sejak awal dakwahnya dan memusatkan pandangan kepadanya. Begitu Islam berkenalan dengan peradaban-peradaban klasik : Mesir, Yunani, Persia dan India, para pemikir muslim segera memperluas studinya mengenai jiwa ini. Mereka meneliti hal ihwal dan keistimewaan-keistimewaan jiwa, terutama mengenai keabadian dan reinkarnasi. Tentang hal ini tak pelak terjadi debat dan diskusi.

Perhatian Ibnu Sina pada psikologi sangat besar hingga tak ada tandingannya dalam sejarah, baik di abad tengah maupun sebelumnya. Ia mempelajari berbagai macam masalah psikologi. Ia benar-benar ingin menguasai permasalahan-permasalahannya dan mendalaminya dengan sungguh-sungguh. Ia banyak menulis mengenai psikologi yang selayaknya mendapatkan perhatian kita. Ibnu Sina menulis masalah jiwa semenjak ia masih muda.

b.      Al-Quran dan Al-Sunnah

Bila kita mereferen kepada kedua unsur primer ini maka kita temukan bahwa al-Quran dan al-Sunnah tidak hanya sekali menyinggung masalah jiwa. Keduanya membicaran jiwa dalam berbagai kesempatan. Al-Quran misalnya mengatakan bahwa ruh merupakan pembangkit hidup, bahkan itu dari Allah :[19]



Artinya : “ (71) (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah". (72) Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya.” (Q.S. Shaad : 71-72)

Dan ruh merupakan rahasia Allah swt. dalam ciptaan-Nya. Manusia yang memang terbatas ilmunya tidak perlu cemas bingung bila tidak mengetahui hakikat dan esensi jiwa.

š 

Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. al-Israa’ : 85)

Allah memperingatkan terhadap syahwat dan hawa nafsu dengan menandaskannya pada nafsu lawwamah yang tidak mau dan emoh pada hal-hal yang hina.


Artinya : “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri).” (Q.S. al-Qiyamah : 2)

            Allah juga memperingatkan bahwa jiwa itu bertingkat-tingkat yang paling  tinggi adalah jiwa mutmainnah. Allah swt. berfirman kepadanya:


Artinya : “27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Q.S. al-Fajr : 27-30)

            Al-Quran juga menerangkan bahwa semua jiwa itu akan kembali kepada Allah.[20]


Artinya : “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. az-Zumar : 42)

            Dalam hadits, ada juga hadits yang menerangkan bahwa ruh itu merasa senang bila diziarahi oleh yang masih hidup.

            “ Tak seorangpun yang menziarahi kubur saudaranya dan duduk disitu, kecuali yang diziarahi tadi merasa senang dan membalasnya hingga ia berdiri.” (H.R. Bukhari)

c.       Beberapa Masalah Psikologi Ibnu Sina

Sebagaimana filosof muslim lainnya Ibnu Sina mengikuti klafikasi ilmu-ilmu filsafat tradisional yang berasal dari Aristoteles. Yakni bahwa ilmu filsafat itu terbagi dalam ilmu teoritis dan ilmu praktis. Dalam kelompok ilmu teoritis dan ilmu praktis. Dalam kelompok ilmu teoritis termasuk fisika, matematika dan metafisika. Sedangkan yang dimaksud ilmu praktis adalah etika, tata rumah tangga, politik. Kami perlu menerangkan dalam cabang atau kelompok mana psikologi digolongkan. Ibnu Sina dengan Aristoteles dengan jelas menempatkan psikologi dalam kelompok pengetahuan teoritis dan masuk dalam ilmu-ilmu alam.[21]

Disamping itu ia menambahkan hal-hal lain yang tidak jauh dari sifat eksperimen.  Salah satu penelitian psikologisnya yaitu psikologi fisik, berkisar mengenai jiwa dengan segala macamnya terdiri dari vegetatif, animal dan manusiawi, terutama dimaksudkan dengan kekuatan jiwa manusia baik yang lahir maupun yang batin. Dalam hal ini Ibnu Sina betul-betul memperluas studinya. Sebagian besar tulisannya mengenai berbagai rasa dan indra. Diwarnai dengan pemikiran-pemikiran para pendahulunya dengan berusaha memperbaiki, menghilangkan kekurangannya dan mentarjih (memilih pendapat yang dalihnya paling kuat di antara yang telah ada) antara satu dengan lainnya.

1)      Adanya Jiwa

Untuk waktu yang cukup lama mereka para filsuf berkeyakinan bahwa jiwa merupakan pembangkit hidup, maka barang siapa mengingkari hidup dengan jiwa. Mereka selalu berpendapat bahwa jiwa merupakan sumber rasa dan pemikiran yang bila diingkari maka akan tidak berarti. Selain itu, semua bahasan keagamaan juga berkaitan dengan adanya jiwa manusia, yang menjadi : tempat iman dan kepercayaan, tempat bergantungnya perintah dan tanggung jawab. Ibnu Sina menganggap jiwa sebagai salah satu dari rujukannya dan merupakan tujuan utama yang menjadi titik tolak. Untuk itu ia mengemukakan bukti.

2)      Bukti-Bukti Psiko Fisik

Ada dua hal yang penting, yaitu gerak dan pengenalan. Gerak terbagi atas dua macam. Pertama, gerak terpaksa timbul dari dorongan unsur luar yang mengenai suatu benda tertentu lalu menggerakkannya. Kedua, bukan paksaan, yang dengan berbagai peranannya terbagi ke dalam beberapa macam juga. Ada yang terjadi sesuai denga hukum alam seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah. Ada juga yang menentang hukum alam seperti manusia yang berjalan di atas bumi sedang berat badannya seharusnya membuat manusia itu tak bergerak. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar unsur tubuh yang digerakkan. Yaitu jiwa. Sedangkan pengenalan merupakan keistimewaan satu makhluk atas yang lain. Karena itu makhluk yang dapat mengenal harus memiliki kekuatan yang tidak dipunyai oleh makhluk yang tidak dapat mengenal. Demikianlah bukti-bukti psiko-fisik yang menjadi landasan Ibnu Sina. [22]



d.      Jiwa menurut Al-Farabi

Kesatuan keduanya (jiwa dan jasad) merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam Illahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq,  berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak.

            Bagi al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut.

1)      Daya al-Muharrikat (gerak); daya ini mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.

2)      Daya al-Mudrikat (mengetahui); daya ini mendorong untuk merasa dan berimanjinasi.

3)      Daya al-Nathiqat (berpikir); daya ini mendorong untuk berpikir.

Tentang sengsara dan bahagianya jiwa, al-Farabi mengaitkan dengan filsafat negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah. Maka jiwa ini, menurut al-Farabi akan kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada negara fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah Allah, ia kembali ke alam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementarra itu, jiwa yang hidup pada negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.[23]

2.      Metafisika Menurut Al-Kindi dan Al-Farabi

a.       Metafisika Menurut Al-Kindi

Persoalan metafisika dibicarakan oleh al-Kindi dalam beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang keesaan Tuhan dan Berakhitnya Benda-benda Alam”. Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakiat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.

1)      Hakikat Tuhan

Tuhan adalah wujud yang haq (Benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karena itu Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.

2)      Bukti-Bukti Wujud Tuhan

            Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunaka tiga jalan, yaitu:

a)      Baharunya alam

b)      Keanekaragaman dalam wujud (katsrah fil mawjudat),dan

c)      Kerapian alam

Untuk jalan pertama al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya, bahwa hal itu tidaklah mungkin. Jelasnya alam ini baru dan ada permulaan waktunya, karena alam ini terbatas. Oleh karena itu, maka mesti ada yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya dan dengan demikian, maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.

Untuk jalan kedua al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman. Hal ini bukan kebetulan bukan karena kebetulan, tetapi karena suatu “Sebab”. Maka “Sebab”  tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dulu adanya, karena “Sebab” harus ada sebelum ma’lulnya (efek,akibat).

Untuk jalan ketiga, al-Kindi menyatakan bahwa alam-lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya zat yang tidak nampak. Zat yang tidak nampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama “illat tujuan” (illat ghayah) yang telah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya.



3)      Sifat-sifat Tuhan

Persoalan sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang pada masa al-Kindi. Diantara sifat-sifat Tuhan adalah Keesaan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu zat-Nya dan satu dalam hitungan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “ Yang Maha Tahu, Yang Maha Berkuasa, Yang Hidup” dan seterusnya.

Al-Kindi mengatakan Tuhan bersifat Azali, yaitu zat yang sama sekali tidak bisa dikatakan pernah tidak ada, atau pada permulaannya ada, melainkan zat yang ada dan wujud-Nya tidak tergantung pada lain-Nya atau tergantung kepada “sebab”; tidak ada yang menjadikan-Nya dan tidak ada sebab yang ia adalah Zat yang karena-Nya maka Dia ada bukan subyek atau predikat.

Zat yang Azali tidak rusak (musnah). Ia tidak bergerak, karena dalam gerak itu artinya ada pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna. Karena zat yang azali tidak bergerak, maka zaman (waktu) tidak berlaku pada-Nya, karena zaman itu adalah bilangan gerak. Akan tetapi zat tersebut mempunyai pekerjaan khusus yang disebut “Ibda”, artinya menjadikan sesuatu dari tiada, yang mengandung pengertian bahwa ia mempunyai perasaan atau menerima pengaruh (infi’al atau ta-atstsur).

Kesimpulannya ialah bahwa Allah adalah sebab-pertama (first cause), dimana wujudnya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah zat yang menciptakan tetapi bukan diciptakan; menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia tidak zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.

Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali, akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersindiri sebagai berikut:

a)      Wajib al-wujud

b)      Mumkin al-wujud

c)      Mumtani’ al-wujud

Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat  yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi Pluralitas (lebih dari satu) /ta’addud al-qudama.

Dari pendapatnya Ibnu Sina  berusaha meng-Esa-kan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah swt. Jika tidak demikian, tentu ilmu Allah Yang Maha Sempurna akan sama dengan sifat ilmu manusia, bertambahnya ilmu membawa perubahan pada esensi manusia. [24]

b.      Metafisika Menurut Al-Farabi

Pertanyaan utama yang diajukan kepada al-Farabi ialah bisakah kita mengenal Tuhan. Dalam satu karyanya, al-Farabi menjawab bahwa Tuhan dapat diketahui dan tidak diketahui, Tuhan nampak (zhahir) sekaligus tersembunyi (bathin). Pengetahuan terbaik mengenai Tuhan ialah memahami bahwa Dia adalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran. Manusia tidak dapat mengetahui Tuhan karena keterbatasan kapasitas intelektualnya. Cahaya adalah media magi mata manusia memgetahui warna. Logikanya, cahaya yang sempurna akan menghasilkan pandangan yang sempurna pula.

Tetapi, al-Farabi memberikan jalan keluar untuk mengenal Tuhan. Tuhan bukan pesona yang tidak dapat dipahami sama sekali. Melalui penalaran argumentasi sesungguhnya manusia mampu mengetahui Tuhan. Al-Farabi membuktikan eksitensi Tuhan dengan mengajukan beberapa argumen. Pertama, bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat di alam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang tidak bergerak, tetapi bertindak sabagai penggerak. Kedua, penyebab efesien (efficiency caution). Demikian pula dengan adanya sebab-sebab yang beruntun yang berujung pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan. Ketiga, argumen mumkin al-wujud. Semua yang terdapat di dunia merupakan realitas yang mustahil ketiadaannya. Bahkan, menjadi sandaran dari segala yang ada itulah Tuhan.

Al-Farabi memberi sifat Tuhan sebagaimana filsuf teistik modren melakukannya, dalam pengertian bahwa manusia dapat mengetahui Tuhan melalui ciptan-Nya.ia juga mengemukakan sifat-sifat Tuhan, seperti esa, sederhana, tidak terbatas, hidup dan sebainya. Menurut konsepsinya, Tuhan itu sederhana sebab Dia tidak tersusun dari wujud fisik dan metafisik. Tuhan adalah satu. Jika tuhan lebih dari satu, berarti Tuhan terdiri atas beberapa komponen. Secara logis, hal ini tidak mungkin.[25]

3.      Ilmu Fisika Menurut Al-Kindi

Al-Kindi mengatakan bahwa alam ini ada illat-nya (sebab) yang jauh dan menjadikan sebagiannya sebagai illat bagi yang lain. Karena itu alam ini asalnya tidak ada, kemudian menjadi ada, karena diciptakan oleh Tuhan, dan karenanya pula, ia tidak dapat membenarkan qadimnya alam.

Ia juga mengatakan bahwa di dalam alam ini terdapat bermacam-maacam gerak, antara lain gerak kejadian dan empat illat yang telah diperkatakan oleh Aristoteles sebelumnya, yaitu illat-materi atau illat-unsur (illat maddiyah;material cause), illat-bentuk (illat shuriyah;form cause), illat pencipta (illat fa’ilah; moving cause), dan illat-tujuan (illat ghayah; final cause). Ia akhirnya sampai kepada apa yang dinamakannnya “Illat pencipta terjauh” bagi tiap-tiap kejadian dan kemusnahan, yaitu Illat-Pertama atau Tuhan, dan ia juga sampai kepada illlat terdekat, yaitu semua benda-benda langit yang bekerja untuk menjadikan atau memusnahkan dengan perantaraan empat unsur di bawah ini.

Kebudayaan dan kemusnahan hanya terjadi pada alam yang berada di bawah bulan, karena menurut Al-Kindi dan orang-orang sebelumnya, kejadian dan kemusnahan tersebut hanya bisa terjadi pada benda-benda yang mempunyai kualitas dan mengandung perlawanan. Panas, dingin, basah dan kering merupakan permulaan qualitas. Empat unsur ini tidak terdapat pada benda-benda langit, yaitu sejak dari bulan sampai kepada akhir benda langit, yang karenanya maka pada alam terakhir ini tidak terdapat kejadian dan kemusnahan.

Al-Kindi mengatakan bahwa benda-benda langit mempunyai kehidupan serta mempunya indera-indera yaitu indera penglihatan dan indera pendengaran saja sebagai indera-indera yang diperlukan untuk dapat berpikir dan membedakan. Oleh sebab itu, benda-benda langit adalah benda-benda  yang hidup.

Oleh karena benda-benda langit menjadi illat terdekat bagi kejadian dan kemusnahan dalam alam ini, maka kehidupan di bumi menjadi tergantung kepadanya. Benda-benda langit itulah yang menimbulkan kehidupan di bumi sebagai akbat geraknya yang abadi (terus menerus) menurut arah tertentu. Dengan demikian, maka kita harus merasakan keagungan kekuasaan Tuhan.

Tentang baharunya alam, maka dalam mengemukakan bukti-buktinya ia mengikuti ajaran agama Islam dan pikiran-pikiran Aristoteles. Dalil Al-Kindi berpangkal pada arti gerak dan waktu (zaman), serta pertalian antara keduanya, kemudian pertalian keduanya dengan benda. Tiap-tiap gerak berarti merupakan bilangan masa benda, dan oleh karena itu maka gerak hanya terdapat pada apa yang mempunyai zaman. Berdasarkan ini, maka gerak itu ada, apabila ada benda, karena tidak mungkin ada benda yang semula diam kemudian bergerak, sebab benda-alam ini adakalanya baharu atau qadim. Kalau baharu, maka wujudnya dari tiada adalah kejadian, sedang kejadian merupakan salah satu macam gerak. Jadi baharunya benda alam adalah gerakan, dan oleh karena itu baharu dan gerak selalu bergandengan. Jika benda itu qadim dan diam yang mungkin bisa bergerak, kemudian bergerak sesudah itu, maka hal ini berarti bahwa sesuatu yang azali mengalami perubahan. Akan tetapi, yang qadim tidak mungkin mengalami perubahan.  Jika benda tidak terdapat tanpa gerak, sedang gerak menjadi syarat pokok bagi wujudnya zaman, dan zaman benda adalah massa wujudnya, maka kelanjutannya dari ini semua ialah bahwa benda, gerak dan zaman terdapat bersama-sama dimana salah satunya tidak mendahului yang lain. [26]






[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 4.

[2] Edward Purba, Filsafat Pendidikan (Medan : Unimed Press, 2014), h. 2.

[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Penegtahuan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 39.

[4] Purba, Filsafat , h. 5.

[5] Syafaruddin, Filsafat Ilmu Mengembangkan Kreativitas dalam Proses Keilmuan  (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2008), h. 36.

[6] Usiono, Filsafat Ilmu (Bandung : Citapustaka Media, 2015), h.6.

[7] Syafaruddin, Filsafat, h. 53

[8] Adib, Filsafat, h. 68.

[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2010), h. 20-23.

[10] Zar, Filsafat , h. 20-23.

[11] Zar, Filsafat , h. 20-23.

[12] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ VII (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), h. 61.

[13] Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir al-Maragi Juz XXV (Semarang : Toha Putra Semarang, 1993) h. 260.

[14] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz I  (Semarang : Toha Putra Semarang, 1992), h. 183.

[15]http://penerbit.insanrabbani.com/ilmu-dalam-perspektif-islam-dan-filsafat-ilmu-sebuah-pengantar/ ( dilihat 7 April 2016; 12:43 WIB)

[16] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta :Rajagrafindo Persada, 2014),  h. 97.

[17]http://abubassam19.blogspot.co.id/2014/03/mengapa-filsafat-merusak-akal-dan-agama.html ( dilihat 7 April 2016 ; 12: 43 WIB)

[18] Ibrahim Madkour, Filsafat Islam; Metode dan Penerapannya (Jakarta : Rajawali, 1991), h. 192.

[19] Madkour, Filsafat , h. 192.

[20] Madkour, Filsafat , h. 192.

[21] Madkour, Filsafat , h. 192.

[22] Madkour, Filsafat, h. 192.

[23] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010), h.  87.

[24] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), h. 77.

[25] Amroeni Drajat, Filsafat Islam; Buat yang Pengen Tahu (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006), h. 30.

[26] Hanafi, Pengantar, h.75.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar